Diantara sekian banyak ulama-ulama pengarang kitab kuning, ada beberapa ulama yang berasal dari luar jazirah Arab.
Syeh Nawawi merupakan salah satu contohnya. Walaupun beliau merupakan orang Jawa, tetapi itu bukan merupakan halangan baginya untuk berkarya mengarang kitab. Di pesantren-pesantren Indonesia banyak kitab-kitab Syeh Nawawi yang dijadikan kurikulum pelajaran.
Produktivitas Syeh Nawawi ini membuktikan bahwa beliau adalah sosok yang memiliki keilmuan yang tinggi, yang sangat disegani di masanya. Bagaimana tidak, seorang ’ajam (sebutan bagi orang non arab) mampu tampil sebagai pengajar di Masjidil Haram Makkah. Kealiman Syeh Nawawi terkenal sampai Mesir dan Syiria.
Syeh Nawawi yang lahir pada tahun 1813 M. di Banten, hidup pada masa-masa keruntuhan kesultanan Banten. Meskipun beliau memiliki darah bangsawan dan silsilahnya sampai ke sunan gunung jati, tetapi itu tidak menghalangi keinginannya menimba ilmu-ilmu agama. Dengan alasan tersebut, Nawawi kecil sudah berani memburu ilmu ke pesantren-pesantren di Jawa Barat. Karena situasi pada waktu itu tidak kondusif, Nawawi muda memilih berangkat ke Mekkah untuk belajar sekaligus menunaikan rukun islam yang kelima.
Di Mekkah beliau belajar pada ulama di masjidil haram selama kurang lebih tiga tahun, setelah itu kembali lagi ke tanah air pada tahun 1830 M. Kepulangannya ini dengan tujuan menyebarkan pengetahuan Islam yang diperoleh dari tanah suci. Bertahun-tahun beliau berdakwah melalui pesantren peninggalan ayahnya. Pada tahun 1855 M. Syeh Nawawi memutuskan kembali lagi ke Mekkah karena tidak puas berdamai dengan imperalis Belanda yang selalu menekannya.
Pada periode keduanya belajar di Mekkah, mula-mula beliau belajar pada ulama-ulama asal Indonesia yang ada di Mekkah. Seperti Syeh Khotib Sambas asal Sambas Kalimantan Barat dan Syeh Abdul Ghoni asal Bima. Setelah mendapat bimbingan dari para seniornya, beliau berguru kepada ulama-ulama besar di Makkah pada waktu itu. Tercatat guru-guru beliau diantaranya; Ahmad Zaini Dahlan yang menjadi Syeh Masjidil Haram, Ahmad Dimyati Yusuf Sumbu Laweri, Abdul Hamid al Daghotani dan Nahrowi dari Mesir. Beliau juga belajar pada Muhammad Khotib Hambali, seorang ulama Madinah.
Setelah berguru pada ulama-ulama Hijaz, beliau mulai aktif mengajar di Masjidil Haram. Selama mengajar beliau dikenal sebagai seorang guru yang simpatis-komunikatif, mudah dipahami penjelasannya. Banyak murid-murid beliau di tahun-tahun berikutnya yang berasal dari Indonesia yang berguru padanya. Syeh Nawawi dan Syeh Ahmad Khotib Minangkabau merupakan ulama-ulama populer pada masa itu, tercatat dari mereka berdualah lahir generasi-generasi cendekiawan pemimpin gerakan Islam pada awal abad 20. Seperti; KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Thohir Jamaluddin (tokoh gerakan Islam di Semenanjung dan Singapura), Abdul Karim Amrullah (tokoh pemimpin pemberontakan di Cilegon pada tahun 1888 M.), KH. Kholil (Bangkalan Madura), KH. Asy’ari (Bawean Jatim) yang kemudian dinikahkan dengan putri Syeh Nawawi yang bernama Maryam, KH. Tb. Asnawi (Caringin Banten), KH. Ilyas (Kragean Baten), KH. Najihun (Tanggerang) dan masih banyak lagi murid beliau yang berasal dari Indonesia.
Tidak saja mengajar, beliau juga produktif mengarang kitab di berbagai bidang ilmu. Ada sekitar sembilan puluh sembilan kitab karya Syeh Nawawi, bahkan ada yang mengatakan berjumlah 115 judul. Di antaranya adalah Tausyeh Ibnu Qosim, Nihayah Zein, Tafsir Munir, dan karya-karya yang lain. Sampai-sampai pada akhir hayatnya beliau sedang dalam proses penyelesaian penulisan kitab Syarah Minhaju al tholibin karya Yahya Bin Syaraf al Nawawi.
Melalui karya-karyanya ini, beliau banyak mendapatkan ragam penghormatan, misalnya Sayyid Ulama al Hijaz, Imam Ulama al Haromain, fuqoha, Hukama al Mutaakhirin dan namanya masyhur sampai ke Syiria dan Mesir. Sehingga beliau termasuk ulama besar abad XIV H/XIX M. Kealiman dan kebesaran Syeh Nawawi tercium oleh universitas al Azhar Mesir. Beliau diundang ke al Azhar untuk menghadiri sebuah diskusi panel dan kuliah pada sarjana-sarjana al Azhar.
Diantara karya beliau adalah kitab tafsir Marah al Labid atau lebih dikenal dengan Tafsir Munir. Pada zamannya, hanya ada dua ahli tafsir. Selain beliau, mufassir lainnya adalah Muhammad Abduh (w.1905 M.) seorang tokoh pembaharu Islam di Mesir. Berbeda dengan Abduh yang lebih banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran Mu’tazilah, Syeh Nawawi lebih diwarnai pemikiran ulama sunni pada abad pertengahan seperti Ibnu Umar Katsir al Durair (lahir 1300 M.), Jalaluddin Mahali (w. 856/1460 M.), Jalaluddin al Suyuthi (w.911 H/1505 M.).
Perbedaan yang paling urgen adalah Abduh lebih mengembangkan kekuatan analisisnya. Sedangkan Syeh Nawawi lebih bersandar pada al Quran, Hadis, pendapat para sahabat dan ulama salaf. Kalau diibaratkan, Syeh Nawawi adalah al Ghozalinya tanah Jawa. Sedangkan Abduh ibarat Ibnu Rusydi yang lebih mengedepankan akal dari pada wahyu.
Di dalam bermadzhab beliau adalah Syafi’iyyah tulen, terbukti dengan karangan-karangannya dibidang fiqih yang rata-rata merupakan komentar atau ulasan kitab-kitab ulama Syafi’iyyah. Sedangkan dalam bidang teologi, Syeh Nawawi memilih ajaran Ahlussunnah wal jamaah sebagai landasan pemikirannya. Lalu dalam bidang akhlaq beliau merupakan penganut sufisme al Ghazali.
Syeh Nawawi termasuk salah satu tokoh Indonesia yang diabadikan dalam kamus Munjid bersama Soekarno. Intelektualitasnya yang bertaraf internasional, konon membuatnya sampai ”dideportase” dari tanah Haromain karena kecemburuan ulama setempat atas prestasi dan karir akademisnya sebagai pengajar di Masjidil Haram.
Kepulangan beliau ke tanah Jawa, ternyata kondisi pendidikan di Haromain (Makkah-Madinah) membuat resah penguasa (imam) yang saat itu dipegang Syeh ‘Ainurrofiq. Atas desakan para pelajar di Haromain yang menghendaki Syeh Nawawi diperbolehkan mengajar kembali, sang imampun memanggil kembali Syeh Nawawi dengan syarat dia mampu menjawab pertanyaan yang dirumuskan para ulama Haromain.
Menurut cerita Syeh Muslih al Maradi, murid Syeh Yasin al Fadani bahwa Syeh Nawawi harus menjawab pertanyaan seputar gramatikal dan leksikal dari kata la siyama. Akhirnya pertanyaan tersebut dibalas oleh Syeh Nawawi dengan lima belas halaman untuk menjelaskannya. Sejak itu, beliau kembali mengajar di Masjidil Haram dalam kuliah madzhab Syafi’i dan mulai dari sini, kepopuleran Syeh Nawawi al Bantani semakin meroket. Beliau dianggap pionner madzhab Syafi’i yang disegani di dunia pada masa itu.
Syeh Nawawi al Bantani adalah contoh sekaligus bukti bahwa ulama Islam ’pinggiran’—seperti Indonesia—sebetulnya mampu dan tidak terlalu ketinggalan secara intelektual dari ulama-ulama negara Islam lainnya.
Aktifitasnya dibidang keilmuan dijalani hingga akhir hayatnya, tepatnya pada tanggal 25 Syawwal 1314 H./1897 M. di kampung Syi’ib Ali Makkah, Syeh Nawawi berpulang ke rahmatullah dan dikebumikan di Ma’la, berdekatan dengan maqbarah Ibnu Hajar dan Asma’ binti Abu Bakar Ra.
Thanks for reading & sharing Sidikalang Sidiangkat
0 Comments:
Post a Comment