Sejak Kamis petang (20/10) WIB beredar kabar simpang-siur mengenai pemimpin Libya yang berpangkat Kolonel itu. Mula-mula seorang pejabat Dewan Peralihan Nasional (NTC) mengatakan Muamar Gaddafi tertangkap dengan luka parah, termasuk di kepala, tapi tak lama kemudian seorang komandan gerakan oposisi tersebut menyatakan Gaddafi tewas akibat luka-lukanya.
Jalal al-Galal, juru bicara bagi perhimpunan oposisi yang memerintah sementara (NTC), mengatakan kepada Reuters Gaddafi "tewas dalam satu serangan oleh petempur opossisi. Ada Gambar mengenai itu".
Namun ada kemungkinan NATO terlibat juga baik secara langsung maupun tak langsung.
Pemimpin kawakan Libya itu, yang telah membawa negeri melalui berbagai keadaan sampai bertahun-tahun diembargo Barat, secara resmi menjadi pemimpin pertama yang tewas akibat serangan sejak "Arab Spring" merebak di Tunisia awal 2011.
Menurut beberapa laporan media transnasional melalui beberapa sumber, Gaddafi "sedang menyelamatkan diri dari serangan gerilyawan pimpinan NATO" terhadap kota kelahirannya, Sirte --yang telah menjadi kubu terakhir bagi pasukan Gaddafi dan tempat ia menemui dilaporkan ajal pula.
Reuters memberitakan gerilyawan menemukan mantan pemimpin Libya itu "sedang bersembunyi di satu lubang di tanah". Petempur yang menemukan Gaddafi dilaporkan mengatakan mantan pemimpin Libya tersebut berulangkali berkata "Jangan tembak, jangan tembak" saat ia ditangkap.
Sementara itu BBC melaporkan petempuran tersebut "mengacungkan" pistol emas yang ia katakan milik Gaddafi.
Kemudian beredar gambar yang cukup mengganggu mengenai Gaddafi dalam keadaan gemetar dan berlumur darah didorong-dorong oleh petempur yang marah, setelah kematian Gaddafi di dekat kota kelahirannya, Sirte.
Keadaan sesungguhnya mengenai kematian Gaddafi masih belum jelas, sementara kabar yang bertentangan beredar seputar kondisi kematiannya.
Gaddafi masih hidup ketika ia diberitakan ditangkap di dekat Sirte. Di dalam rekaman video, yang dibuat oleh seorang warga sipil di antara kerumunan orang dan belakangan ditayangkan oleh televisi ke seluruh dunia, Gaddafi terlihat sedang diseret dari kap mesin satu kendaraan dan rambutnya ditarik saat ia berada di tanah.
Namun dalam keterangan yang bertolak-belakang dengan rekaman video tersebut, NTC menyatakan Gaddafi "tewas ketika baku-tembak berkecamuk antara pendukungnya dan petempur NTC setelah ia ditangkap. Ia meninggal akibat peluru yang mengenai kepalanya".
"Tak ada perintah untuk membunuh dia," kata NTC sebagaimana diberitakan.
Gaddafi menyebut gerilyawan yang mengangkat senjata menentang 42 tahun kekuasaannya sebagai "tikus", tapi akhirnya ia justru dia lah yang dilaporkan ditangkap di dalam pipa pembuangan yang dipenuhi sampah dan kotoran.
Belakangan Prancis menyatakan "pesawatnya menyerang kendaraan" milik pasukan Gaddafi di dekat Sirte, sekitar pukul 08:30 waktu setempat (13:30 WIB) Kamis, tapi menyatakan negara itu tak yakin apakah serangan tersebut telah membunuh Gaddafi atau tidak.
Mulai pertengahan Februari, protes marak di berbagai kota di Libya, guna menuntut pemimpin Libya Muamar Gaddafi --yang telah berkuasa selama 42 tahun.
Kubu oposisi membentuk pemerintahan tandingan terhadap pemerintah Gaddafi di Benghazi, Libya timur. Sejak itu, oposisi dan pasukan pro-Gaddafi bertempur memperebutkan berbagai kota kunci di negara Afrika utara tersebut.
Dukungan Liga Arab
Sementara itu, Liga Arab dan beberapa negara Uni Eropa mendukung pemberlakuan zona larangan terbang untuk menghentikan laju pasukan Gaddafi.
Guncangan terbesar dihadapi Gaddafi saat ibu kota negerinya Tripoli jatuh ke tangan oposisi pada Ahad, 21 Agustus 2011. Setelah enam bulan pertempuran sengit melawan pasukan pemerintah, petempur oposisi akhirnya memasuki Tripoli, ibu kota Libya dan basis kekuatan Gaddafi. Dua hari kemudian kompleks Gaddafi, Bab Al-Aziziyah, di ibu kota Libya, Tripoli, juga jatuh ke tangan oposisi pada Selasa (23/8).
Sejak protes meletus di Libya pada awal 2011, yang diilhami oleh "Arab Spring" pada Februari, pemimpin yang berusia 69 tahun itu dan negara Afrika Utara yang kaya akan minyak tersebut --yang memiliki 6,5 juta warga-- telah menjadi pusat sorotan media internasional.
Selama 42 tahun berkuasa, Gaddafi memang tak selalu mengukir nilai negatif; ia telah memberi jaminan kebutuhan dasar bagi rakyat Libya. Tapi pada saat yang sama ia melarang semua partai politik, meskipun ia mendapat dukungan suku penting, guna mempertahankan kekuasaannya, demikian laporan Xinhua.
Kekuasaannya berawal pada September 1969, setelah Gaddafi, yang saat itu masih menjadi perwira muda, memimpin beberapa rekannya dalam "Gerakan Perwira Bebas", guna melancarkan kudeta tak berdarah yang menggulingkan Raja Idris dan mendirikan Republik Arab Libya. Saat itu, Raja Idris sedang menjalani perawatan di Turki.
Gaddafi pun menjadi pemimpin Dewan Komando Revolusionary (RCC) dan Panglima Angkatan Bersenjata Libya.
Ia menjadi menteri pertahanan di negeri itu saat menjadi perdana menteri dari 1970 sampai 1972. Pada 1977, ia menjadi "Pemimpin Revolusioner Libya" dan melepaskan semua jabatan pemerintahan pada 1979, dan hanya memegang jabatan pemimpin tersebut.
Setelah muak dengan korupsi kerajaan dan pendudukan kolonial sebelumnya; Italia menguasai Libya 1911-1951; Gaddafi, sejak 1970-an, membuat rakyat Libya menikmati pendidikan bebas, perawatan kesehatan gratis, dan angkutan serta perumahan bersubsidi, dengan bantuan sumber minyak negeri itu, yang berlimpah, dan penduduknya --yang sedikit.
Sementara itu, ia memberlakukan hukum pemerintahan yang ketat, dan melarang judi serta alkohol, dan memulai sistem ajaran agama di negeri tersebut.
Kota besar seperti, Tripoli --ibu kota negeri itu, mulai dihiasi hotel dan gedung baru, dan mengubahnya jadi tujuan wisata serta mengundang pengusaha dari seluruh dunia.
Ia lolos dari sejumlah rencana pembunuhan termasuk satu upaya pada 1996, yang diduga dilakukan oleh Dinas Rahasia Inggris, setelah lama hubungan kedua negara terputus, yang dipicu oleh terbunuhnya seorang wanita polisi Inggris oleh diplomat Libya pada 1984.
Gaddafi juga sangat terkenal karena pembangkangannya, setelah pemboman Desember 1988 terhadap satu pesawat di wilayah udara Lockerbie, Skotlandia, yang melibatkan warga negara Libya.
Peristiwa tersebut, yang menewaskan 270 orang --sebanyak 189 di antara mereka adalah warga negara Amerika, dipandang sebagai salah satu dari serangkaian aksi kekerasan responsif pada 1980-an antara Amerika Serikat dan "kelompok pelaku teror yang ditaja negara" di wilayah itu.
Gaddafi menolak untuk menyerahkan tersangka pembom pesawat tersebut sampai 1999. Pada 2003, Libya secara resmi mengaku bertanggung jawab atas pemboman itu, tapi tak pernah menyampaikan permintaan ma`af atas serangan tersebut.
Pada 2009, ketika satu-satunya tersangka pelaku pemboman Lockerbie, Abdel Basset al-Megrahi, dibebaskan dari penjara Skotlandia dengan dasar kemanusiaan, Gaddafi menyambut dia di bandar udara. Tindakan itu kembali membuat geram Washington.
Namun belakangan, Gaddafi menilai-ulang situasi dan membuat kompromi, terutama setelah bertahun-tahun Libya dirundung sanksi oleh negara Barat serta PBB pada 1990-an. Pada 2001, untuk menyelamatkan kehidupan politiknya, Gaddafi dengan cepat bangkit dan mencela serangan 11 September di Amerika Serikat.
Pada 2003, tak lama setelah tertangkapnya presiden Irak Saddam Hussein, ia juga mengumumkan Libya meningkatkan program senjata nuklirnya dan bersedia menerima pemeriksa nuklir internasional.
Tapi perjalanan kekuasaannya tak selalu mulus. Setelah "Arab Spring" pada Februari 2011, satu gerakan demonstrasi terhadap kekuasaannya menyebar ke seluruh Libya.
Gaddafi, yang dilahirkan pada tahun 1942 di wilayah pesisir, Sirte, tentu saja tak tinggal diam dan menanggapi dengan mengerahkan personel militer berseragam dan berpakaian sipil ke jalan guna menyerang pemrotes, tapi banyak petugasnya dilaporkan malah membelot.
Sama saja
Perang di Libya hanyalah satu dari serangkaian perang usang yang sama karena sebab usang yang sama pula; perebutan kekuasaan yang dilandasi oleh ketidakpuasan. Itu tak berbeda dengan yang dilakukan Gaddafi saat ia berusia 27 tahun dan mengguling Raja Idris.
Namun, baik Amerika Serikat maupun Eropa tak ingin terlibat di sana dengan komitmen mahal. Tapi yang jelas sejak awal mereka ingin Gaddafi pergi.
Justru Amerika Serikat lah yang membuat pengaturan guna mempersenjatai dan melatih gerilyawan Libya. Bagi negara adidaya tersebut, juga lebih murah dengan mempersenjata dan melatih gerilyawan ketimbang mempertahankan zona larangan terbang dan mulai menggunakan banyak rudal tandan dengan harga dua juta dolar AS setiap kali penembakan dan predator dengan harga 4,5 juta dolar per unit.
Mempertahankan apa yang disebut zona larangan terbang hanya lah kedok bagi pemboman guna mengganyang semua yang memiliki nama Gaddafi.
Sejak awal Washington dipandang telah mengayomi kelompok yang belum memiliki pengalaman apa-apa --Dewan Peralihan Nasional (NTC)-- tapi sudah memiliki sistem pengelola keuangan sendiri.
Pergerakan di Libya ialah Gaddafi akan dibunuh atau ia akan melarikan diri. Semua uangnya, anak-anak dan keluarganya di mana pun di Bumi ini telah dilacak dan dibekukan. Sebelumnya memang sudah ada dugaan Gaddafi dan dua putranya akan tewas, dan jika itu terjadi pemerintahnya akan tercerai-berai, sebab Gaddafi dan kedua putranya lah pemerintah yang sesungguhnya.
Sebenarnya ada persamaan kondisi di Libya dengan invasi ke Irak, meskipun kasus di Irak adalah pemerintah faksional yang dipersatukan oleh orang kuat militer, Saddam Hussein. Kekuatan militer itu, tentu saja, diperoleh Saddam melalui Amerika Serikat. Tapi pemimpin Irak tersebut melakukan tindakan yang tak menyenangkan Washington, tak berbeda dengan yang sekarang dilakukan Gaddafi.
Libya juga disatukan dengan cara yang kurang lebih sama. Negara itu terdiri atas kelompok suku yang dipersatukan oleh Gaddafi sebagai pemerintah minoritas militer. Maka tindakan yang terutama bisa dilakukan negara Barat ialah mempersenjatai dan melatih anggota suku yang menentang Gaddafi. Kondisi semacam itu tak bisa dilakukan di Irak, sebab kekuatan mayoritas rakyat Irak adalah pemeluk Syiah, yang tentu saja berkiblat ke Iran.
Sejak awal aksi perlawanan pada Februari, sudah beredar tanda tanya, apa mungkin rakyat sipil mampu mendesak tentara reguler, yang berada di bawah kendali Gaddafi?
Gaddafi sendiri menghadapi masalah yang telah menenggelamkan pemerintah di Tunisia dan Mesir, sementara Yaman dan Suriah menghadapi masalah serupa dan negara kaya seperti Qatar tak luput dari rongrongan ketidak-puasan. Libya bahkan dilanda aksi perlawanan yang lebih besar, terutama dengan campur-tangannya Barat dengan memanfaatkan zona larangan terbang sebagai dalih.
Ada pendapat mengatakan mestinya Gaddafi juga menyadari bahwa sudah tiba waktunya bagi dia untuk pergi, saat aksi perlawanan bertambah kuat apalagi setelah Tripoli dan bahkan kompleks tempat tinggalnya, Bab Al Aziziyah, tak bisa dipertahankannya.
Namun, seperti ungkapan dalam agama, semuanya sudah ditakdirkan manusia cuma menjalaninya. Gaddafi pun membawa dirinya menuju takdirnya. Ia menemui ajal dalam mempertahankan kekuasaan yang sebenarnya tak bisa dipertahankannya.Innalillahi wa innailahi rojiun
Masalahnya sekarang bagi negara Afrika Utara tersebut ialah konflik yang telah berlarut akan menimbulkan konsekuensi serius bagi Eropa. Tak ada masalah yang telah diselesaikan di Libya, sementara itu tak jelas apa yang akan terjadi dalam beberapa pekan atau bulan ke depan.
Thanks for reading & sharing Sidikalang Sidiangkat
0 Comments:
Post a Comment