PENDAHULUAN. Pembahasan ini secara singkat memandang perkembangan terjadinya krisis di Indonesia, dari tertekannya nilai tukar rupiah menjadi krisis moneter (krismon), setelah meluas dan mendalam menjadi krisis total (kristal), menyangkut hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Proses ini tedadi secara cepat, meluas dan mendalam, jauh melampaui perkiraan kebanyakan orang, termasuk para ahli, bahkan mereka yang pesimis sekalipun. Analisis mengenai terjadinya krisis di Asia, termasuk Indonesia, banyak dilakukan sejak timbulnya gejolak yang berkembang menjadi krisis ini. Saya kira hal ini akan berlangsung cukup lama; menganalisis mengenai sebab tedadinya, pola-pola proses terjadinya, kesamaan dan perbedaan kasus yang satu dengan yang lain, mengapa demikian dan bagaimana menghindarinya di masa depan atau apa yang dapat diambil sebagai pelajaran dari krisis ini. Berbagai pakar terkenal dari berbagai universitas ataupun lembaga-lembaga penelitian di A.S., Eropa dan Asia telah, sedang dan akan melakukan studi mengenai permasalahan ini. Nama-nama ahli ekonorni terkemuka, seperti Paul Krugman, Rudi Dombusch, Martin Feldstein, Fred Bergsten, Jeffrey Sachs, Stanley Fischer dan banyak yang lain telah memenuhi media cetak dan elektronik yang menyebar luaskan pandangan atau analisis mereka mengenai permasalahan ini. Kebanyakan tulisan mereka dapat diikuti dari internet dengan mudah. Saya sendiri baru saja pulang dari perjalanan selama lebih dari satu bulan di berbagai negara, memenuhi berbagai undangan pertemuan yang membahas masalah serupa. Saya tidak akan membahas pendapat-pendapat tersebut, kecuali secara singkat mencoba mensarikan bagaimana kita menerangkan apa yang terjadi. Kalau dilihat dari proses terjadinya, krisis tersebut didahului oleh suatu euphoria, adanya pertumbuhan yang tinggi dalam kurun waktu yang lama yang digambarkan sebagai economic miracle a.l. oleh Bank Dunia) timbul perkembangan yang menampakkan tanda-tanda adanya bubbles seperti ekspansi real estates yang kelewat besar dan pertumbuhan pasar saham yang luar biasa bersamaan dengan masuknya dana luar negeri berjangka pendek secara berlebihan). Dalam keadaan tersebut kemudian timbul gejolak yang menyebabkan suatu distress dan melalui dampak penularan yang sistemik (contagion effects) menjadi crisis. Krisis tersebut semula terjadi di sektor keuangan-perbankan, kemudian melebar menjadi krisis ekonomi yang secara sistemik melebar menjadi krisis sosial, politik dan akhimya krisis kepemimpinan nasional. Ini mungkin lebih tepat untuk digunakan menggambarkan perkembangan krisis di Indonesia, akan tetapi secara umum apa yang terjadi di negara-negara lain di Asia, terutama Thailand dan Korea Selatan, juga serupa. Uraian saya dimulai dengan menyajikan terjadinya krisis secara kronologis. Akan tetapi, secara analitis saya berpendapat bahwa krisis ini terjadi karena timbulnya gejolak ekstern yang melalui proses dampak penularan yang sistemik melanda ekonomi nasional. Dengan struktur keuangan yang masih lemah, maka perkembangan tersebut menimbulkan krisis yang meluas, dari ekonomi-moneter ke seluruh aspek kehidupan masyarakat. Proses penularan ini terjadi karena lemahnya struktur ekonomi, tatanan sosial, hukum dan politik yang mempertajam masalah ini menjadi sistemik. Setelah itu saya akan membahas berbagai hal yang menyangkut pelajaran apa yang dapat kita tarik bagi para pelaku; para perumus kebijaksanaan, dunia usaha utamanya sektor keuangan dan masyarakat luas, termasuk dunia akademi. Uraian, cacatan ataupun pesan ini saya kemukakan dengan harapan untuk memadukan upaya kita bersama, seluruh unsur yang mendukung gerakan reformasi total, guna keluar dari krisis ini, agar dalam waktu yang tidak terlalu lama dan korban yang tidak terlampau besar, mampu mengembalikan kehidupan ekonomi nasional tagi dengan sikap baru, hasil dari langkah-langkah pembaruan bangsa yang didambakan oleh gerakan reformasi. | |
DARI KRISIS MONETER KE KRISIS TOTAL Seperti disinggung di atas, perdebatan mengenai krisis keuangan atau krisis ekonomi di Asia ini masih beriangsung. Studi dan seminar untuk memeperdebatkan mengenai berbagai aspek dari permasalahan ini nampaknya masih akan bedalan sampai beberapa waktu. Krisis itu sendiri di dalam laporan IMF, World Economic Outlook yang baru digolongkan menjadi berbagai jenis, seperti currency crisis, banking crisis, sistemic financial crisis dan foreign debt crisis. Dari segi asal timbulnya krisis laporan ini nampaknya menggambarkan bahwa, pada dasarnya krisis merupakan akibat dari gejolak finansial atau ekonomi dalam perekonomian yang mengidap kerawanan. Kerawanan perekonomian bisa terjadi karena unsur-unsur yang pada dasarnya bersifat internal, seperti kebijaksanaan makro yang tidak sustainable, lemahnya atau hilangnya kepercayaan terhadap mata uang dan lembaga keuangan dan ketidak stabilan politik, atau yang berasal dari faktor eksternal, seperti kondisi keuangan global yang berubah, misalignment dari nilai tukar mata uang dunia (dollar dengan yen), atau perubahan cepat dari sentimen pasar yang meluas karena herd instinct dari pelaku dunia usaha. Dewasa ini pandangan-pandangan mengenai sebab timbulnya krisis yang beraneka ragam tersebut, mungkin dapat digolongkan menjadi dua kelompok; pertama yang mengatakan bahwa sebab utamanya adalah masalah internal ekonomi nasional, terutama lemahnya lembaga keuangan (perbankan). Ini pokok dari argumentasi Paul Krugman, ahli ekonomi kenamaan dari Stanford University. Kedua, yang mengatakan bahwa krisis ini timbul dari perubahan sentimen pasar, masalah eksternal, yang diperkuat dengan contagion effects. Ini berasal dari Jeffrey Sachs, ahli ekonomi dari Harvard University. Saya melihat bahwa apa yang terjadi di Indonesia dimulai dengan dampak dari proses penularan, dimana rupiah tertekan di pasar mata uang setelah dan bersamaan dengan apa yang terjadi di negara-negara tetangga, dimulai dengan depresiasi yang drastis dari baht Thailand. Akan tetapi kemudian dengan langkah kebijakan yang dilakukan dan implikasi dari padanya (pelebaran rentang kurs intervensi, pengambangbebasan rupiah, intervensi BI dan pengetatan likuiditas), terjadi proses yang bersifat downward spiral dari proses penularan, sehingga gejolak kurs rupiah menjalar menjadi masalah tertekannya perbankan (karena kelemahan sektor ini). Ketidakpercayaan terhadap rupiah menjalar menjadi ketidak percayaan terhadap perbankan (adanya flights to quality danflights to safety) yang menimbulkan krisis perbankan. Dalam keadaan ini bank tidak hanya ditinggalkan deposan akan tetapi juga ditinggalkan bank lain (terganggunya pasar uang antar bank yang tersekat-sekat), termasuk akhirnya bank-bank mitra usaha di luar negeri (penolakan L/C dari bank nasional oleh bank luar negeri). Krisis perbankan kemudian menjalar ke pada nasabah mereka (mahalnya atau hilangnya kredit bank), sehingga masalah sektor keuangan langsung berpengaruh negatif terhadap sektor riil (kegiatan konsumsi, produksi, perdagangan dan investasi). Dari perkembangan ini secara cepat krisis keuangan ini menjadi krisis sosial (perusahaan yang tidak memperoleh pinjaman bank mulai melakukan PHK terhadap karyawannya), dan kemudian menimbulkan krisis dalam kehidupan politik yang memuncak dengan terjadinya krisis kepemimpinan nasional yang sampai sekarang belum terselesaikan. Mengenai perkembangan terjadinya krisis, mungkin secara kronologis dapat disebutkan secara singkat, apa yang terjadi sejak bulan Juli 1997, sebagai berikut :
Mungkin berkaitan dengan apa yang terjadi serta langkah kebijaksanaan yang dilakukan dapat dikemukakan berbagai kejadian dan tindakan yang memerlukan kejelasan mengenai mengapa tejadi demikian, atau dari kebijaksanaan yang diambil mengapa suatu langkah tertentu diambil, mengapa bukan langkah yang lain. Berbagai hal dibawah mungkin menarik untuk dibahas (dikemukakan di sini bukan untuk mendukung atau menolak, tetapi untuk menarik pelajaran yang berguna di masa depan atau untuk pengembangan pendekatan. Pada berbagai kesempatan diskusi mengenai permasalahan-permasalahan ini perlu dilakukan):
Dalam berbagai kesempatan saya akan membahas atau membuat catatan mengenai berbagai permasalahan di atas, sebagian untuk menjelaskan apa yang tejadi dan mengapa dilakukan atau tidak dilakukan suatu langkah tindakan pada waktu yang bersangkutan, sebagian merupakan jawaban ke pada berbagai kritik yang dilancarkan, yang tidak selalu tepat. Sebagian mungkin merupakan pertanggung jawaban saya sebagai penanggung jawab dari berbagai kebijakan yang diambil selama menjalani jabatan saya. Apa yang dapat dipetik sebagai pelajaran dafi krisis yang tejadi ini? Dr Andrew Sheng, Deputy Chief Executive, Hongkong Monetary Authority yang menyebutkan adanya dua pelajaran yang dapat ditarik. Saya sangat sependapat dengan dua palajaran tersebut, yaitu pertama, the sooner the better. Ini dalam hal menyadari dan mengidentifikasi secara akurat mengenai masalah yang dihadapi dan kemudian menanganinya secara tepat, cepat dan konsisten. (Ingat, dalam kasus Indonesia, berkali-kali dikemukakan berbagai pihak secara tepat mengenai tidak nampak adanya sense of crisis dari pemerintah maupun dari sebagian masyarakat). Karena cepatnya perkembangan dan sifatnya yang menular (contagious), maka semakin tertunda penanganannya, semakin besar pula masalahnya, demikian pula biaya atau korban yang timbul dari upaya penyelesaiannya. Saya dapat melihat hal ini secara jelas dari pengalaman menangani masalah perbankan, semakin tertunda penyelesaiannya, semakin rumit masalahnya, semakin mahal biayanya. Kedua, the problems are always worse than expected. Ini berlaku bagi otorita yang bertanggung jawab menangani maupun dunia usaha ataupun pakar yang menggampangkan masalahnya dengan mengusulkan jalan keluar yang tidak operasional. Nampaknya baik dalam penanganan terhadap krisis ekonomi maupun masalah politik, pimpinan nasional di bawah mantan Presiden Soeharto kurang memahami pelajaran ini, artinya pada dasarnya tidak bersedia menerima pernilaian yang akurat, karena kenyataan yang tidak enak. Atau terlambat menerima kenyataan, dan masalahnya telah menjadi sangat besar, sehingga upaya penyelesaiannya tidak memadai, too little and too late, kata orang. Dan atau menganggap enteng masalahnya. Kalau masalah yang dihadapi memang kompleks dan rumit, cara menjelaskan yang disederhanakan memang menolong kita untuk menunjukkan arah penyelesaiannya. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa masalahnya kemudian berubah menjadi sederhana atau gampang, jalan keluar yang efektif juga tidak sederhana. Kita harus berani menerima bahwa masalahnya lebih besar dari yang kita harapkan atau perkirakan. Karena tidak tanggap terhadap pelajaran ini, maka konsekuensinya yang pahit harus diterima. Menghadapi ekonomi pasar yang semakin bebas dan terbuka secara global kedua pelajaran tersebut harus diperhatikan. Bahkan perkembangan menunjukkan, bahwa kehidupan sosial politik yang semula serba bisa diatur telah mengalami perubahan yang menampakkan sifat serupa ekonomi pasar yang menuntut pimpinan nasional tanggap terhadap kedua hal di atas, atau menerima konsekuensinya kalau meremehkannya. Pimpinan sekarang akan mengalami nasib serupa, kalau tidak mau belajar dari pengalaman ini. | |
MELIHAT KE DEPAN. Dalam keadaan ini melihat prospek ekonomi nasional sangat sulit dilakukan, kecuali perasaan yang mengatakan ballwa masalahnya sangat berat dan keadaan ini diperkirakan akan berjalan lama. Akan tetapi ini sangat tidak memuaskan. Seberat apapun, kita harus mempunyai perkiraan dan ekspektasi, kalau tidak berani melakukan prediksi, mengenai bagaimanakah prospek ekonomi nasional kita, jangka pendek maupun yang lebih panjang. Memang harus diakui bahwa, dalam perkembangan yang sangat cepat ini masa depan semakin mengandung sifat tidak pasti. Ini yang menjadikan orang semakin myopic, hanya marnpu melihat keadaan yang sangat dekat dengan dirinya. Kalu disertai sikap seolah-olah tiada hari esok (aji mumpung), hal ini dapat menumbuhkan perilaku seseorang atau kelompok yang merugikan kepentingan yang lebih besar atau dalam jangka panjangnya, meskipun seolah-olah menguntungkan saat ini atau bagi yang melakukan. Dihadapkan kepada situasi seperti ini ada yang berpendapat bahwa mempelajari sejarah, mempelajari pengalaman masa lalu tidak ada manfaatnya, karena masa depan kan tidak pasti, yang pasti justru perubahan itu sendiri. Orang yang ambisinya kelewat besar, tidak sesuai dengan kemampuannya, mengatakan those who study history don't make history. Saya berpendapat bahwa mempelajari pengalaman masa lalu tetap berguna, bahkan dalam dunia yang terus mengalami perubahan. Memang untuk mempersiapkan diri guna menghadapi masa depan yang tidak menentu, belajar sejarah seolah-olah tidak ada gunanya. Akan tetapi dengan mempelajari pengalaman yang lalu kita masih memperoleh manfaat, yaitu kemampuan untuk tidak membuat kesalahan yang serupa. Jadi bagaimana kita menghadapi krisis ini? Untuk saya, yang penting pada taraf permulaannya adalah memiliki peta yang jelas dari seluruh masalah yang dihadapi oteh bangsa ini, baik aspek ekonomi, sosial maupun politik. Kita semakin yakin bahwa aspek-aspek kehidupan ini memang terkait yang satu dengan yang lain. Tetapi setelah gambaran atau peta masalah tadi menjadi jelas, kita perlu menyadari bahwa tidak mungkin semua dilaksanakan segera dan bersamaan. Dengan lain perkataan perlu dibuat prioritas. Ini bukan pekerjaan yang mudah. Akan tetapi kalau gambarannya jelas, termasuk kaitannya yang satu dengan yang lain, menyusun prioritas untuk dijadikan program saat ini dan selanjutnya, jangka pendek, menengah dan panjang akan menjadi lebih gampang. Setelah itu program harus dilaksanakan secara berdisiplin. Ada teman yang mengatakan, we need good programs, good implementation and....... good luck. Ini harus disertai catatan, the sooner the better, the longer the costlier. Dalam hal penentuan prioritas, saya berpendapat bahwa terlebih dahulu bangsa kita harus keluar dari krisis yang telah secara total melanda kehidupan ini. Ibarat orang sakit, saat krisis harus dilalui dahulu dengan menciptakan kestabilan. Pendarahan harus dihentikan dahulu. Masalah krisis itu sendiri dari segi penanganannya masih berkisar pada belum adanya kepercayaan yang mantap. Untuk seturuh kehidupan dalam masyarakat, krisis yang harus dihentikan dulu adalah kepercayaan kepada pimpinan nasional, pemerintah dan lembaga tinggi negara. Saya berpendapat bahwa krisis kepercayaan ini bersumber, bukan pada landasan hukum formalnya, konstitusional atau tidaknya, akan tetapi lebih pada legitimasinya. Presiden dan seluruh anggota kabinet, lembaga legislatif dan judikatif serta ABRI masih belum memperoleh kepercayaan tersebut secara penuh. Ini aspek diluar ekonomi yang sangat penting harus diselesaikan. Perlu saya berikan catatan di sini, pada waktu kepercayaan itu masih ada, pelaku pasar tidak terlalu menuntut, mereka menerima berbagai kekurangan yang tejadi. Akan tetapi pada waktu kepercayaan telah hilang, maka tuntutan mereka semakin banyak, menyangkut berbagai aspek diluar ekonomi-keuangan. Kita memang bisa mengatakan, tidak mau didekte pasar. Tetapi masalahnya bukan didikte atau tidak oleh pasar atau oleh IMF. Kenyataannya adalah bahwa pelaku pasar: para investor, para kreditor, atau mitra usaha akan terus menunggu sampai masalah yang berkaitan dengan aspek-aspek ini diselesaikan. Dalam bidang ekonomi, kepercayaan pasar, baik domestik maupun asing serta kepercayaan masyarakat luas sangat tipis terhadap rupiah yang masih lemah dan tidak kunjung menguat. Hal serupa tejadi dengan perbankan dan lembaga keuangan yang lain, serta kemampuan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah pinjaman mereka. Ini memang harus ditunjukkan penanganannya yang menggambarkan bagaimana prospeknya. Jelas tidak semuanya dapat diselesaikan segera, akan tetapi program penyelesaian harus dapat dibaca dan diterima oleh pasar. Mungkin perlu disadari bahwa persepsi dan ekspektasi pelaku pasar dalam negeri dan luar negeri itu tidak selalu sama, bahkan sering berlawanan arah, karena itu menyulitkan pengelolaan yang dilakukan otorita yang bertanggung jawab dalam pengelolaan moneter. Penanganan terhadap krisis ekonomi-keuangan ini tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Indonesia, karena itu kerjasama dan bantuan pihak lain harus terus digalang. Dalam hal ini, program yang didukung IMF semakin penting untuk dilaksanakan secara berdisiplin. Ini tidak berarti bahwa kita harus menyerah seluruhnya pada keinginan IMF, pemerintah memang harus gigih mengusahakan, mereview, melobby,dsb. Saya melihat bahwa IMF juga terus belajar, bersedia untuk lebih menyesuaikan dengan kenyataan, tetapi ini memang harus terus diperjuangkan. Perkembangan pendekatan IMF terhadap permasalahan subsidi, pinjaman swasta, penjaminan kewajiban bank, penunjukan personalia yang menangani, dsb., menunjukkan kesungguhan IMF untuk memeperhatikan berbagai implikasi yang dapat mengganggu implementasi program restrukturisasi ekonomi. Sikap tersebut dan upaya yang terkoordinir dari team perunding lebih berpotensi menghasilkan program yang realistis. Mungkin perlu diingat bahwa keputusan meminta bantuan IMF itu datang dari pemerintah kita, dan program yang disepakati itu adalah program Indonesia yang didukung oleh IMF. Istilah program IMF, juga yang banyak dipakai media asing IMF bail out, sebenarnya tidak tepat, karena itu berbagai kritik terhadap peran IMF juga kurang tepat. Dukungan tersebut disertai penyediaan dana dan bantuan teknis. Akan tetapi sebelum memberikan dukungan tentu saja lembaga ini ingin mengetahui bagaimanakah bentuk program tersebut, apakah sesuai dengan persyaratan kelayakan yang ada ketentuannya (conditionality, istilah yang semula tabu). Yang perlu pula diingat adalah bahwa keputusan untuk meminta bantuan ke pada lembaga multilateral ini adalah untuk memperoleh dukungan dari program ekonomi yang harus dilakukan menghadapi krisis yang melanda perekonomian agar kepercayaan pasar yang menghilang dapat kembali. Karena itu yang penting tidak hanya dananya, akan tetapi dukungan tersebut, karena IMF menjadi acuan bagi hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara lain yang juga kita harapkan membantu, para investor asing, serta para kreditor asing. Jadi sebenarnya, suka atau tidak suka kita memang memerlukan kehadiran IMF dan lembaga-lembaga multilateral lain, seperti World Bank dan ADB. Mendudukkan hubungan kita dengan IMF secara benar ini perlu agar tidak ada pernilaian yang sering keliru mengenai bagaimana kita mensikapi IMF. Akan tetapi, yang sangat mendesak selama penanganan masalah-masalah ini: lemahnya rupiah, inflasi, penyehatan perbankan, pinjaman perusahaan swasta, dsb., adalah mengenai pengadaan dan distribusi bahan pokok yang sangat sulit karena sarana dan prasarana jaringan distribusi yang sangat menyedihkan sebagai akibat tindakan penjarahan dan pembakaran yang sangat brutal. Ini akan memakan waktu untuk dapat pulih, akan tetapi terutama untuk pengadaan dan distribusi bahan pokok harus segera ditangani. Bantuan dan kerjasama dari luar harus pula digalakkan dalam hal ini. Dalam pembangunan sarana dan prasarana distribusi, masalah yang dihadapi tidak hanya pembangunan fisik, akan tetapi memulihkan kepercayaan pada para pelaku yang, terutama pada saat terjadinya kekacauan, merasa sama sekali tidak memperoleh perlindungan dari aparat keamanan. Berbagai pembahasan mengenai hal ini telah dilakukan, demikian pula pemyataa Presiden Habibie. Akan tetapi jelas ini tidak cukup, apalagi hanya meminta kesadaran mereka. Mereka memerlukan jaminan perlindungan untuk tidak dijadikan korban penjarahan, pembakaran, perkosaan dari orang-orang yang seolah-olah merasa berhak melakukan perbuatan yang sangat tidak beradab ini. Tanpa adanya jaminan ini rasanya sangat sulit mengharapkan sebagian besar dari mereka bersedia beroperasi lagi. Membangkitkan kegiatan ekspor tidak dapat ditunggu terlalu lama, ini merupakan keharusan. Karena ini sebagian menyangkut penyelesaian masalah pinjaman perbankan, maka ini harus didahulukan dalam penanganannya. Dalam beberapa hal, seperti ekspor komoditi tradisional Indonesia, meskipun kemampuan ekspor itu tetap ada, hilangnya kepercayaan perbankan negara mitra dagang kita terhadap perbankan nasional mempersulit pelaksanaan ekspor tersebut. Keputusan Pemerintah untuk meminta BI membayar tunggakan pinjaman perbankan dalam money market line serta pinjaman perdagangan berkaitan dengan kesepakatan mengenai pinjaman swasta di Frankfurt 4 Juni yang lalu mudah-mudahan dapat menggelindingkan fasilitas yang sangat vital bagi realisasi ekspor ini. Dalam impor pangan dan obat-obatan, kalaupun hubungan perbankan dalam mendukung perdagangan ini tertolong dengan adanya garansi kredit, lemahnya rupiah tetap mempersulit realisasi impor tersebut. Pinjaman dan bantuan dari berbagai negara dalam kaitan ini harus terus diupayakan dan segera dilaksanakan. | |
PEMBAHARUAN SIKAP Sesuai dengan keinginan gerakan reformasi yang pada dasarnya bermaksud untuk melakukan pembaruan bangsa, dalam aspek pembahasan saya mengenai krisis ekonomi-keuangan, bangsa Indonesia harus membaharui sikap, setelah krisis dapat kita lalui. Jadi, terlebih dahulu kita harus keluar dari krisis. Tetapi sikap apa yang harus mendasari kehidupan ekonomi nasional nanti? Sikap baru dalam melanjutkan kegiatan ekonomi dan pembangunan nasional setelah kita keluar dari krisis nanti harus dilandasi pada kesadaran semua pelaku bahwa baik sebagai individu, keluarga atau kelompok, sebagai perusahaan atau negara, atau bangsa Indonesia secara keseluruhan, harus sadar bahwa kita tidak bisa hidup lebih besar pasak dari pada tiang secara terus menerus. Dalam kehidupan ekonomi nasional yang bersifat terbuka, memang dapat berlangsung keadaan di mana terdapat kesenjangan pengeluaran investasi dan tabungan nasional yang dibiayai dengan masuknya dana luar negeri dalam berbagai bentuknya. Demikian pula sektor keuangan, suatu bank, bisa saja mengalami kesenjangan antara hak dan kewajiban dalam likuiditas harian atau mengalami mismatch, menimbulkan saldo merah pada bank sentral yang ditutup dengan fasilitas diskonto. Akan tetapi kesenjangan tersebut tidak dapat berjalan terus menerus, karena perubahan sentimen pasar atau perkembangan baru yang mendadak mudah merubah keseimbangan tersebut menjadi suatu krisis yang sulit diselesaikan. Mismatch dalam suatu bank, yang pada dasarnya merupakan masalah likuiditas, kalau berjalan berkepanjangan atau kalau sektor perbankan dalam keadaan distress, sangat mudah berubah menjadi masalah solvabilitas, yang sebaiknya tidak diselamatkan melalui fasilitas bank sentral. Untuk keseluruhan ekonomi nasional, kesenjangan pengeluaran untuk investasi dan tabungan nasional yang bejalan terus-menerus akan membawa malapetaka nasional. Kenyataan tersebut tidak hanya untuk sektor keuangan atau aspek pembiayaan dari kegiatan ekonomi, akan tetapi juga dalam aspek lain dari kehidupan, baik secara mikro maupun makro. Ketidak mampuan, kecurangan, kemunafikan atau kepalsuan dapat dan telah berlangsung di masyarakat kita. Meritocracy yang diabaikan di sektor pemerintah dan swasta, kecurangan dalam berbagai bentuknya di sektor pemerintah dan masyarakat, yang sering dikatakan telah membudaya, semuanya merupakan bentuk kesenjangan yang pada dasarnya merupakan tindakan atau cara hidup yang mengandung sifat lebih besar pasak dari tiang. Praktek-praktek ini, ditutup dengan kepalsuan dan kemunafikan yang merajalela, telah memperparah keadaan. Upaya mencari jalan pintas seolah-olah diterima sebagai hal yang bisa diterima atau wajar-wajar saja. Orang ingin nampak pintar membeli gelar dari master sampai doktor, bahkan jabatan gurubesar. Orang kepingin cepat kaya melakukan korupsi, kepingin berkuasa melakukan kolusi untuk menduduki sutu posisi, dst. Semua perilaku yang menggambarkan tindakan yang lebih besar pasak dari tiang ini ditutup-tutupi dengan mengagungkan sikap kepalsuan dan kemunafikan. Akan tetapi semua ini tidak dapat berkesinambungan. Semua harus dibuang dalam kehidupan pasca krisis nanti. Ini saya sebutkan di sini, hanya untuk meneruskan argumentasi saya mengenai praktek-praktek kehidupan di luar ekonomi yang harus kita tinggalkan, karena tidak dapat dipertahankan lagi. Etos kerja baru harus dikumandangkan. Kita harus bangga dengan hasil jerih payah kita sendiri, yang halal, yang sesuai dengan kemampuan dan investasi kita. | |
BERBAGAI CATATAN.
Marilah kita persiapkan, kita rapatkan barisan segenap elemen bangsa untuk senantiasa eling dan mawas bahwa saat ini kita sangat rentan terhadap segala gejolak politik dan perekonomian bangsa. |
وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatlah kepada Allah dan rasulnya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfâl: 46)
Imam al-Qurtuby menjelaskan maksud dari “watadzhabu rîhukum” pada ayat di atas adalah, “hilang kekuatanmu”. Sementara Imam ath-Thabarî menjelaskan maksud dari “walâ tanâza’û fatafsyalû” adalah, “janganglah kamu berbeda kemudian kamu terpecah belah yang menyebabkan kamu menjadi lemah dan gentar”. Sering kita dengar peribahasa yang mengatakan; “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”. Peribahasa ini memiliki arti bahwa suatu umat akan kuat dan maju apabila tidak terpecah belah. Sebenarnya tidak perlu diragukan lagi bahwa perpecahan adalah pangkal kelemahan dan persatuan adalah pangkal kekuatan. Namun, hal sederhana ini acapkali terlupakan. Sehingga, saling mengingatkan pun merupakan keniscayaan.
Begitulah kira-kira tujuan dari tulisan ini. Sekedar untuk saling mengingatkan bahwa sudah saatnya umat islam bersatu-padu. Sebagaimana kelima jari tangan kita akan lemah jika salah satunya ada yang hilang, suatu bangunan akan berdiri kuat dan kokoh ketika tiang-tiangya saling bersatu-padu, begitupun manusia. Dia akan semakin kuat dan kokoh jika bersatu. Disamping firman Allah di atas, sebenarnya masih banyak ayat-ayat al-Qur’an dan al-hadits yang selalu memperingatkan kita agar jangan terpecah belah, yang sekira sudah maklum walau pun tidak saya sebutkan.
Perpecahan terbukti telah memberi kerugian besar umat islam dan keuntungan signifikan penjajah. Dulu, akibat perpecahan, kita telah kehilangan Andalusia, Spanyol. Pemerintahan terakhir di Andalusia adalah pemerintahan Bany al-Ahmar yang runtuh pada tahun 897 Hijriyah. Dengan runtuhnya kekuasaan Bani al-Ahmar yang ber-Ibu Kota Granada ini, maka berakhir pula segala peradaban islam di Andalusia. Jika Andalusia pun hilang, maka bukan tidak mungkin Palestina pun akan segera hilang jika kita terus-menerus ternina bubukan oleh perpecahan. Bahkan mungkin, Arab Saudi, Mesir bahkan Indonesia dan Negeri muslim lainya akan mengalami nasib serupa. Sehingga, sebagaimana umat islam Palestina dipersulit untuk sekedar masuk ke Masjid al-Aqsa,--mungkin--kita pun akan dipersulit untuk beribadah haji, umrah, tour ke Sinai, Mesir dan peninggalalan bersajarah lainya. Atau bahkan dilarang sama sekali.
Sejarah adalah bukti adil bahwa perpecahan acapkali dimanfaatkan oleh penjajah dan zionis untuk lebih mengokohkan posisi mereka di bumi jajahanya. Bukan hanya memanfaatkan, bahkan menciptakan perpecahan itu agar anak-anak bangsa lebih disibukan dengan perpecahan meraka sendiri sehingga akan melemah bahkan lupa untuk melawan penjajah. Kita tengok sejarah pahit masa lalu kita. Yaitu, ketika bangsa Indonesia yang raksasa terjajah oleh Belanda yang tak seberapa besarnya selama ratusan tahun. Jika di-ibaratkan, antara Indonesia dengan Belanda adalah laksana gajah yang takluk dengan se-ekor kucing. Karena Jika Anda mau membandingkan antara Indonesia dengan Belanda, maka Anda akan terkaget-kaget, bahkan takjub setengah hidup kenapa Belanda yang begitu kecilnya mampu menundukan Indonesia yang begitu besarnya.
Kenapa bias?. Tak lain karena Indonesia telah dilemahkan terlebih dahulu oleh perpecahan yang di antaranya sengaja ditebarkan Belanda. Politik pecah-belah, atau yang dikenal dengan ‘Divide et impera’ telah mampu melemahkan semangat juang Bangsa Indonesia. Jika bangsa Indonesia lemah karena perpecahan, maka Indonesia pun merdeka karena persatuan. Bisa dikatakan Bangsa Indonesia memulai bersatu padu sejak digulirkanya ‘Sumpah Pemuda’ pada tgl 28 Oktober th 1928 M. Dengan sumpah pemuda tersebut Bangsa Indonesia bertambah lebih kuat dari sebelumnya yang masih tercerai-berai. Dan akhirnya, untuk selalu menjaga persatuan, salah satu sila kelima pun (sila ketiga) berbunyi; “Persatuan Indonesia”.
Kita saksikan, betapa Palestina dilemahkan oleh adanya konflik, perang saudara antara kubu Fatah dan Hamas. Sehingga, Zionis Isra’il pun semakin leluasa menjajah mereka. Di Irak dan Libanon, kita menyaksikan mereka telah lemah akibat pertikaian antar saudara yang tak kunjung reda hanya karena berbeda madzhab. Yakni, antara Sunni dengan Syi’ah. Sungguh ironis, hanya karena berbeda madzhab mereka mengorbankan hal yang lebih besar. Padahal, berbeda tidak harus berpecah belah dan bertikai. Di Tunisia dan Al Jazair, mereka telah lemah akibat perpecahan antara Sunni dan sekte Ibadhi (Khawarij). Begitu pun di Negeri-negeri yang mayoritas muslim lainya. Jika perpecahan-perpecahan semacam ini tidak mendapatkan perhatian serius, maka tidak mustahil jika seiring waktu berjalan akan menjadi lebih meruncing dan mengerikan. Karena, dinamika kehidupan memang cenderung menuntun ke-arah itu.
I. Sejarah Singkat Pertikaian Antar Madzhab
Sejarah mencatat seringnya perang saudara antar umat islam yang memilukan. Di mulai dari mengalirnya darah-darah umat islam pertama kalinya di tangan sekte Khawarij yang mendaku bahwa merekalah yang paling benar dan berpandangan bahwa islam tidak akan sempurna kecuali dengan jihad dan menghabisi kelompok yang tidak sepaham dengan mereka. Setelah sekte Khawarij, menyusul kemudian sekte Qaramita (al-Qarâmithah) yang tersebar di Iraq, Syam dan Hijaz. Di tangan mereka, darah kembali mengalir di mana-mana. Mereka meneror, membunuh, menjarah harta benda umat islam lainya, bahkan menjarah selimut ka’bah. Menurut Dr. Mushthafa Sak’ah (pemikir muslim kontemporer), ribuan arwah orang islam yang hilang itu tak lain akibat fanatisme buta dan sempitnya cakrawala pengetahuan.
Pertempuran demi pertempuran pun kerap kali terjadi antara Sunni dengan Syi’ah. Kadang dimulai oleh pihak Syi’ah, kadang pula dimulai dari pihak Sunni. Membingungkan, siapakah yang bersalah dan harus bertanggung jawab? Saya kira dari kedua belah pihak harus bertanggung jawab. Karena di satu sisi, Syi’ah terlalu intoleran kepada para sahabat Nabi Saw, bahkan mengkafirkan sahabat Umar, Abu Bakar, Usman. Sehingga, emosi kalangan ‘Ahli Sunnah’ pun terpancing oleh aroansi syi’ah itu.
Pada tahun 345 H. terjadi keributan hebat antara Sunni dengan Syi’ah di Isfahan (kota terbesar ketiga di Iran) yang penduduknya Sunni. Keributan dipicu oleh seorang laki-laki Syi’ah yang ekstrem dari penduduk Qom, Iran, yang mencaci maki sahabat Nabi Saw. Maka, terjadilah pembunuhan-pembunuhan dan penjarahan-penjarahan harta perniagaan milik penduduk Qom.
Di Mesir, tepatnya pada tahun 350 H. bulan Asyura’ terjadi keributan antara tentara Sunni dari Turki dan Sudan disatu pihak, dan tentara Syi’ah di pihak lain. Para tentara turun kejalan dan bertanya kepada siapa saja yang dujumpainya, “siapa pamanmu?” Ketika tidak dijawab dengan “paman saya Mu’awiyah” maka mereka pun dipukuli dan disakiti.
Pada tahun 408, 445, 444, 449 Hijriyah tragedi berdarah antara Sunni dan Si’ah kembali terulang. Terjadi pertempuran mengerikan antara kedua belah pihak. Darah membanjiri bumi. Para perempuan dengan rambut terurai turun ke jalan dalam keadaan susah, menangisi para suam tercinta yang telah menjadi bangkai. Kondisi demikian akhirnya semakin membakar api emosi khalayak umum. Maka, pertikaian pun semakin meruncing. Pembakaran terjadi dimana-mana tanpa sebab yang jelas kecuali karena satu kelompok berbeda madzhab dengan kelompok lain. Sungguh memilukan, darah orang islam seolah lebih murah dari sekedar perbedaan pendapat.
Di Kairouan (Al Qayrawan), Tunisia, ada seorang qadhi yang Sunni bernama Abu Sa’id di minta untuk memeluk madzhab Syi’ah. Namun, karena menolak, maka kemudian dia dipotong lidahnya. Pada saat Pemerintahan Fathimiyah berkuasa, ada seorang laki-laki Sunni di Mesir yang dipukul hanya gara-gara dia memiliki kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik.
Kemudian, al Hakim Biamrillah pernah memerintahkan wakilnya untuk menyiksa seorang laki-laki Maroko, dan dikatakan kepada laki-laki tersebut, “inilah balasan bagi orang yang mencintai Abu bakar”, kemudian dipenggalah leher laki-laki tersebut.
Ketika Daulah Fathimiyah berkuasa, seluruh pejabat Sunni dicopot dari kursi pemerintahan hanya karena mereka Sunni. Kembali ke Mesir, pada tahun 343 H. seorang pembesar Syi’ah dipenjara tanpa alasan yang jelas sampai mati. Ketika jasadnya hendak dikebumikan, maka, terjadilah tragedi pertempuran berdarah antara pengikut pembesar Syi’ah itu dengan tentara.
Yang lebih memilukan, pertikaian juga terjadi antara Sunni dengan Sunni. Al-hanâbilah (pengikut Ahmad bin Hamba), dalam berdialektika dengan lawanya dari kalangan Syafi’iyah, pernah masyhur mengedepankan kekerasan. Suatu ketika mereka melarang dikebumikanya imam Ibnu Jarir al-Thabarî hanya karena Ibnu Jarir mengakui bahwa Ibnu Hambal hanyalah seorang ahli hadits, bukan lainya dan karena Ibdu Jarir telah mendirikan madzhab. Toh pada akhirnya murid-murid Ibnu Jarir berhasil mengebumikan gurunya pada malam hari.
Jika kita memiliki sifat manusiawi yang tinggi, tentu kita akan miris dan pilu dengan tragedi-tragedi semacam itu. Bermadzhab bukanlah hal yang terlarang—bahkan mungkin terbuji--selagi tak disertai fanatisme buta terhadap salah satunya.
II. Saling Mengkafirkan Adalah Salah Satu Faktor Utama Pecahnya Umat Islam
Saling mengkafirkan dan menyesatkan antar umat yang sama-sama mebaca ‘kalimat tauhid’, ber-Tuhan satu, ber-Nabi satu, ber-agama satu dan ‘kitab suci’ yang satu merupakan salah satu faktor utama perpecahan. Sekte wahabiyah mengkafirkan shufiyah (para shufi) di satu pihak, sementara di pihak lain justru kelompok shufiyah yang mengkafirkan balik wahabiyah. ‘Ahli Sunnah’ pun tak luput dari tuduhan kafir dan sesat. Bahkan bukan hanya oleh wahabiyah semata, tapi juga oleh Syi’ah. Ketika Syi’ah mengkafirkan ‘Ahli Sunnah’, di satu sisi syi’ah juga dikafirkan oleh wahabiyah. Yang menyedihkan, pengkafiran--agaknya--menjadi kebanggaan. Ini terlihat dari antusiasme mereka ketika mengkafirkan kelompok lain.
Jika pengkafiran ini terus terjadi, kemudian ditinjau dari berbagai lini, maka sesungguhnya di dunia ini sudah tidak ada orang islam lagi. Ketika Ahli Sunnah dikatakan kafir, Syi’ah dikatakan kafir, wahabiyah dikatakan kafir, Shufiyah dikatakan kafir, lalu siapa yang islam? Ketika suatu kelompok mengkafirkan kelompok tertentu, maka ia telah mengeluarkan kelompok itu dari islam dan menjadi musuhnya. Maka, ketika ada kelompok yang mendaku cinta dan penolong islam namun gemar dan mudah mengkafirkan kelompok lain yang masih membaca kalimat tauhid, maka dia telah berbohong dan berdusta. Tanpa disadari sebenarnya dia sedang membunuh islam secara perlahan. Karena dengan mengkafirkan saudara sendiri berarti dia sedang memecah belah islam.
Radikalisme, ekstremisme dan terorisme yang kerap kali terjadi juga tak terlepas dari keyakinan pelaku atas kekafiran kelompok lain. Beruntung mayoritas bangsa Indonesia adalah ‘Ahli Sunnah Wal Jama’ah’ yang tidak gampang mengkafirkan sekte lain. Bahkan, walau pun mereka dikafir-kafirkan oleh kelompok tertentu karena ziarah kubur, tawasul dan lain sebagainya, mereka tidak membalasnya dengang balik mengkafirkan. Tidak habis fikir apa yang akan terjadi dengan Indonesia jika mayoritas dihuni umat yang gemar mengkafirkan.
Peran Internet
Disatu sisi, internet memberi banyak manfaat umat berupa mudahnya mengakses kabar seputar dunia dan berbagai macam ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain internet juga membawa bencana, karena praktik-praktik takfiriyyah begitu mudahnya ditemukan di internet. Bahkan, jika boleh saya katakan, internet saat ini cukup dikuasai oleh para pengasong pengkafiran dan penyesatan terhadap kelompok lain. Belum lama sahabat serumah hendak mencari informasi instan tentang ‘Barzanji’ melalui internet, tapi yang ironis, dia justru langsung disodori tuduhan sesat terhadap ‘barzanji’ tersebut. Ketika saya sedang malas membuka kitab, kadang saya membuka internet, namun hati ini menjadi miris ketika hampir setiap situs yang saya ‘klik’ berisi tuduhan sesat dan bid’ah terhadap kelompok lain.Pengkafiran yang diasong murah meriah melalui internet pun semakin memperdalam jurang perpecahan umat.
Dr. Muhammad Imarah, seorang pemikir muslim Mesir, pernah bertanya kepada salah satu pembesar Syi’ah, yang esensia mengapa mereka (syi’ah) mencurahkan waktu merka untuk saling serang dengan Wahahabi? Dia menjawab, “karena mereka (Wahabi) mengkafirkan kami”. Kesenjangan antara sunni dan syi’ah sampai saat ini pun lebih ditengarahi adanya pengkafiran kelompok syi’ah terhadap para sahabat, semisal; Abu bakar, Umar, Usman dan sahabat lainya yang dimulyakan oleh ‘Ahli Sunnah’. Jelas, bahwa saling mengkafirkan adalah sumber perpecahan.
Shufiyah (Ahli Tashawwuf) Mengkafirkan Wahabiyah
Saling mengkafirkan yang terjadi antara Shufiyah dan Wahabiyah semisal; Tarekat al-Azamiyah--salah satu tarekat dalam dunia sufistik yang lebih jauh dari khurafat dan mendekati pembaharuan—yang didirikan oleh Syikh Muhammad mâdzi Abu al-‘Azâyim (1938 M). Tarekat ini, melalui mimbar-mimbar media mereka, tidak segan-segan melontarkan tuduhan-tuduhan sesat dan kafir terhadap Wahabiyah, terkhusus kepada Syikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H) dan Syikh Muhammad bin Abdul Wahab (1115-1206 H). Menurut mereka, aqidah-aqidah Wahabiyah adalah aqidah ‘Gnostisisme’ dan ‘Hinduisme’. Madzhab mereka adalah madzhab terorisme dan sekte ateisme yang membahayakan. Sedang para pengikut Muhammad bin Abdul wahab adalah para pengkafir dan mujassimah serta ahli bid’ah.
Sementara, Ibnu taimiyah menurut mereka adalah pengikut sekte Khawarij yang mengkafirkan banyak sahabat dan yang memiliki kebodohan ganda tentang dasar-dasar agama. Dia (Ibnu Taimiyah) telah menghukumi dirinya sendiri dengan syirik dan menyembah selain Allah tanpa disadari. Dia berusaha memasukan aqidah trinitas ke dalam islam namun hanya mampu memasukan dua bagian dari aqidah trinitas tersebut. Yaitu; ‘tauhîd al-ulûhiyah’ (bapak) dan ‘tauhid al-rubûbiyah’ (Anak). Kemudian, kedua aqidah tersebut disempurnakan oleh Muhammad bin Abdul wahab menjadi aqidah trinitas dengan menambahkan ‘tauhîd al-asmâ’ wa al-shifat’ (roh kudus).
Begitulah kira-kira contoh—hanya contoh--pengkafiran Tarekat al-Azamiyah terhadap Wahabiyah. Jika penulis baca dengan kacamata psikologi, agaknya klaim-klaim Tarekat al-Azamiyah terhadap Wahabiyah tersebut lebih didasari emosi mereka (al-Azamiyah) terhadap Wahabiyah, sebab mereka (Wahabiyah) telah mengkafirkan mereka dan para sahabat yang dimulyakan. Hal demikian dapat terbaca melalui bahasa pengkafiran al-Azamiyah di atas yang menyebut bahwa Wahabiyah adalah sekte pengkafir.
Wahabiyah Mengkafirkan Shufiyah Syi’ah dan Ahli Sunnah
Disatu sisi, tuduhan kafir yang dilontarkan wahabiyah terhadap shufiyah justru lebih parah dan keterlaluan. Menurut wahabiyah, “shufiyah (para shufi) adalah orang-orang musyrik yang kekufuranya mlebihi kufurnya kaum Quraisy jahiliyah. Karena kafir Qurais, ketika mereka sudah tidak memiliki trik lagi dan mengetahui ketidak mampuan Tuhan mereka, maka mereka akan takut kepada Allah. Adapun shufiyah, ketika tertimpa mushibah dan cobaan justru kemusyrikanya bertambah dan berlari kepada Tuhan-tuhan mereka, penghuni kubur dan para wali, kemudian meminta pertolongan kepada mereka. Mereka lebih kafir daripada Abu Jahal dan Abu Lahab”. Menurut wahabiyah, “pengikut tarekat shufi adalah ateis, zindiq, bangsa kuburan, penyimpang dan tersesat dari jalan yang lurus.
Menurut wahabiyah, fikih dan tashawwuf adalah dua entitas yang tidak dapat disatukan. Sehingga, ketika ada ahli fikih kemudian bertashawwuf maka dengan sendirinya dia telah terbalik menjadi manusia paling jelek. Karena tashawwuf—menurut mereka—adalah tak ubahnya gurita dan kangker yang mematikan yang mengadopsi ajaran-ajaran keberhalaan, seperti al-ittihâd, hulûl dam wihdatul wujud.” Itulah contoh—hanya sebagai contoh--pengkafiran wahabiyah terhadap shufiyah (ahli tashawwuf). Sedang syi’ah, di mata wahabiyah mereka adalah madzhab yang tersesat sedang amal berbuatan mereka adalah syirik, seperti ber-istighasah kepada Ali bin abi Thalib dan al-Husain RA. Begitu pun ‘Ahli Sunnah Wal Jama’ah’ yang merupakan mayoritas umat islam, dimata wahabiyah, mereka tidak lebih sebagai pembuat bid’ah, kerusakan, kefasikan, bahkan kekufuran.
Syi’ah Mengkafirkan Ahli Sunnah
Ketika syi’ah saling mengkafirkan dengan Wahabiyah, maka dengan hebatnya Syi’ah juga menuduh kufir terhadap sekte ‘Ahli Sunnah Wal jama’ah’, bahkan hingga para sahabat. Tuduhan kufir Syi’ah terhadap Sunni dengan mudahnya kita jumpai dalam kitab-kitab mereka. Semisal dalam kitab al-Ushûl Minal kâfî, karya; al-Kulainî (329 H) disebutkan bahwa ayat:
“Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang-orang yang sesat. (QS. 3:90), dan “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (QS. 47:25)
Menurut mereka, yang dimaksud dengan orang-orang yang kafir dan murtad dalam kedua ayat tersebut adalah Abu bakar, Umar dan Usman. Al-Karkiy dalam kitabnya Nafahât al-Lâhût fi La’nil Jibti wa al-Thaghût juga mengatakan, “Barang siapa yang dihatinya tidak ada permusuhan kepada Usman, dan tidak menghalalkan harga dirinya dan tidak meyakini kekafiranya maka dia adalah musuh Allah dan Rasul-Nya, kafir terhadap apa yang telah diturunkan Allh”. Al Hur al-‘Âmili dalam Wasâ’ilusy Syi’ah bahkan menyunahkan untuk melaknat mereka (sahabat) yang dianggapnya musuh agama.
Dan masih banyak contoh-contok pengkafiran oleh Syi’ah terhadap ‘ahli sunnah’. Termasuk men-sunah-kan melaknat para sahabat setelah solat. Namun, saya kira tidak perlu untuk disebutkan disini semua. Karena, ditakutkan justru akan semakin memancing emosi pihak tertentu. Namun, perlu saya tekankan bahwa apa yang saya sebutkan diatas hanya sebagai contoh agar kita tidak ikut terjebak ke dalam jurang saling mengkafirkan. Tidak bermaksud memihak salah satunya, sekte yang tidak gampang mengkafirkan adalah ‘Ahli Sunnah Wal Jama’ah’. Bahkan sekali pun mereka dikafirkan dan di-bid’ah-kan, mereka tidak membalas dengan mengkafirkan. Sebagaimana yang kita saksikan di Indonesia, mereka dikafir-kafirkan hanya karena bertawasul dan ziarah kubur para auliya, namun sekali-kali mereka tidak membalasnya dengan mengkafirkan. Karena mereka tahu bahwa saling mengkafirkan hanya akan mencelakakan islam.
III. Solusi Mempersatukan Kembali
Sebelumya, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan terlebih dahulu agar pembahasan tetap berjalan diatas kejelasan, juga, supaya tak terjadi kesalah pahaman terkait terminologi ‘mempersatukan’. Lantas, mempersatukan semacam apakah yang dimaksudkan?. Simpel, bahwa mempesatukan di sini maksundya mempersatukan umat dari keterpecahan dengan tetap menghargai perbedaan pendapat di antar madzhab. Karena, bagaimana pun, kita tidak akan luput dari yang namanya perbedaan pendapat, terlebih dalam masalah furû’ (cabang). Bahkan—menurut hemat saya—perbedaan kadang menjadi keniscayaan untuk kita lakukan. Semisal; ulama yang ber-ijtihjad di Indonesia tentu harus merumuskan hukum yang berbeda dengan rumusan hukum ulama yang ber-ijtihad di Arab Saudi. Tentu ketika situasi-kondisinya juga berbeda. Sebagaimana ketika Imam Syafi’i merumuskan hukum di Bahgdad berbeda dengan hukum yang beliau rumuskan di Mesir, yang kemudian di kenal denga qaul qadîm (untuk yang di Bahgdad) dan qaul jadîd (untuk yang di Mesir). Saya tekankan, bahwa yang saya maksud adalah mempersatukan umat, bukan madzhab. Toh—mungkin--mempersatukan madzhab merupakan salah satu cara untuk mempersatukan umat.
Terkait mempersatukan madzhab, Dr. Muhammad Imarah dalam bukunya, Fitnah at-Takfîr mengklarifikasi perbedaan antara kalimat “taqrîb al-Madzahib (mendekatkan antar madzhab)”, “tauhîd al-madzâhib (menggabungkan antar madzhab) dan ihtidhân (merangkul)”. Beliau mendefinisikan taqrîb al-madzâhib dengan, “Koeksistensi antar madzhab-madzhab yang berbeda beserta menyingkap kerangka umum--yang bisa menjadi titik temu--dan aspek-aspek yang disepakati bersama serta mengidentifikasi aspek-aspek diferensiasi”. Jadi, taqrîb itu, tetap mengakui adanya diferensiasi antar madzhab, bahkan memelihara perbedaan tersebut. Namun dengan catatan tidak fanatik buta terhadap salah satunya sehingga intoleransi terhadap yang lainya.
Taqrîb ini nampak bertolak dari ide bahwa dalam setiap madzhab terdapat titik temu dengan madzhab lain. Pada titik temu itulah setiap madzhab yang berbeda bisa bersatu padu dan maju bersama. Memang dalam stiap madzhab juga terdapat perbedaan, namun, alangkah indahnya jika perbedaan itu dihormati dan persamaan dijunjung tinggi. Sampai kapanpun, perbedaan akan selalu ada, jika tidak saling menghormati, maka permusuhan pun akan selalu ada. Kemudian “tauhîdul madzahib” beliau definisikanya dengan; “menggabungkan semua madzhab dalam satu madzhab dan mengesampingkan kaidah keragaman dan perbedaan antar mazhab”. Sedang posisi ihtidhan adalah diantara taqrîb dan tauhîd. Bisa dikatakan, ihtidhân adalah lebih dari sekedar mendekatkan antar madzhab namun tidak sampai pada taraf men-tauhîd-kanya. Karena itu, solusi yang sekira tepat diadopsi untuk menyatukan umat adalah metode taqrîb atau ihtidhan, bukan tauhîd.
Madzhab juga bisa dimaksudkan sebagai madzhab fikih ataupun madzhab dalam ilmu kalam (teologi). Namun perpecahan yang ada cenderung disebabkan perbedaan dalam ilmu kalam daripada fikih. Di era kontemporer ini tidak semua madzhab yang dulu pernah ada dapat kita jumpai. Bahkan, banyak diantara madzhab yang telah tiada. Sebab itu, upaya mempersatukan (baca-taqrîb) lebih difokuskan kepada madzhab-madzhab yang masih tersisa, diantaranya; Ahlus Sunnah Wal Jam’ah, Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiyah dan Ibadhiyah yang sekarang masih eksis di Omam, Tripoli, Tunisia dan Al-Jazair. Ibadhiyah ini sebenarya sisa dari sekte Khawarij tapi marah jika dipanggil Khawarij. Oke, biar lebih terurut, mungkin upaya mempersatukan umat bisa kita klasifikasikan kedalam poin-poin berikut.
- a. Yang pertama dan bersifat personal tentu belajar dan memperbanyak membaca buku. Terutama sejarah tentang perpecahan beserta pertikaian antar madzhab itu sendiri. Tentu bertolak dari rasa cinta kepada islam dan persatuanya. Ketika dia menemukan dalam sejarah betapa tragisnya perpecahan dan pertikaian berdarah antar madzhab maka—pada tataran terendah—ia akan merasa miris dan iba kepada islam. Sehingga, pada tataran berikutnya akan terbesit dalam hati kecilnya, “bagaimana caranaya agar sesama umat islam tidak saling serang bahkan bersatu padu dan saling membantu?”. Lalu, dia akan bereusaha melacak akar perpecahan tersebut yang pada puncaknya ia menemukan bahwa di antara faktor perpecahan tersebut adalah fanatisme buta dan saling mengkafirkan antar madzhab. Pengetahuan tentang sejarah pertikaian berdarah lebih mujarab untuk membongkar fanatisme buta daripada sekedar ajakan “mari bersatu padu”.
- b. Hentikan saling mengkafirkan. Ketika di atas dikatakan bahwa saling mengkafirkan adalah sebab dari perpecahan itu, maka logis jika solusinya adalah menghilangkan sebabnya yang berupa saling mengkafirkan. Al-Ghazali dalam kitab al-Iqtishad fî al-I’tiqad mengatakan, “tidak bergegas atau tergesa untuk mengkafirkan kecuali orang-orang bodoh…Sesungguhnya menghalalkan darah dan harta orang-orang yang menjalankan solat dan dengan jelas masih membaca “lâ Ilaha illa Allah Muhammad rasulullah” adalah kesalahan”. Secara eksplisit al-Ghazali mengatakan bahwa mengkafirkan seseorang yang masih membaca kalimat tauhid adalah kesalahan.
Statemen al-Ghazali diatas Nampak jelas berpijak pada hadist yang mengkisahkan Usamah bin Zaid yang menikam seorang laki-laki padahal laki-laki tersebut telah membaca kalimat tauhid. Kemudian ada semacam kearaguan yang menyelimuti hatinya apakah yang ia (Usamah) lakukan adalah benar. Lalu Usamah menuturkan kepada Nabi Muhammad Saw. Tentang peristiwa itu. Lalu Nabi berkata dengan nada semacam kekecewaan atas apa yang telah Usamah lakukan; “Apakah dia telah membaca lâ Ilaha illallah, dan kamu membunuhnya?!. Lalu Usamah berkata “Wahai Rasulullah, dia mengucapkanya hanya karena takut pedang”. lalu Rasul Saw. berkata “Mengapa kamu tidak membelah hatinya sekalian sehingga kamu mengetahui apakah hatinya juga membacanaya ataukah tidak?!!” Rasul Saw. Mengulang-ulang perkataanya itu sehingga Usamah pun berharap (waktu itu) segera selamat dari luapan semacam kekecewaan Rasul Saw.” (HR. Muslim)
Lantas, mungkinkah, dan upaya apa saja untuk memutus mata rantai saling mengkafirkan tersebut?. Saya jawab mungkin!. Muhammad Imarah, seorang pemikir Muslim Mesir, menawarkan beberapa langkah konkrit untuk memutus mata rantai saling mengkafirkan. Yang diantaranya adalah; perlunya menhimpun para ahli hukum dari berbagai pihak terkait, khususnya dari Ahli sunnah Wal jamaah, Syi’ah Imammiyah, Syi’ah zaidiyah, Wahabiyah dan Shufiyah untuk mendialogkan problematika saling mengkafirkan tersebut. Dan pertemuan dilakukan dalam keadaan tertutup dari masyarakat umum dan media masa. Pertemuan ini setidaknya untuk menyepakati beberapa hal penting terkait budaya saling mengkafirkan:
- 1. Sepekat mengeluarkan fatwa kolektif antara pihak-pihak terkait untuk mengharamkan tuduhan-tuduhan kafir kepada madzhab manapun yang pengikutnya masih membaca ‘kalimat tauhid’.
- 2. Mengharamkan mengekspos ataupun mempublikasikan tuduhan-tuduhan kafir tesebut ke dalam internet dan media masa lainya. Ini terkait karena penyebaran fitnah saling mengkafirkan ini sangat gencar dilakukan melalui internet. Namun—menurut saya—tidaklah cukup dengan hanya mengeluarkan fatwa haramnya menuduh kafir dalam media, bahkan harus ada langkah kongkrit bagaimana supaya fitnah pengkafiran dalam media ini benar-benar terhentikan. Tentu sumbangsih dari pengelolaan media menjadi keniscayaan. Semisal, ketika konten yang berbau porno grafi saja dilarang dan bisa diblokir, mengapa konten yang berpontensi menimbulkan perpecahan ini tidak dilarang dan diblokir juga?
- 3. Membersihkan kitab-kitab turast (kuno/kitab kuning) dari segala bentuk hukum-hukum yang mengkafirkan terhadab orang-orang yang masih membaca ‘kalimat tauhid’. Langkah ini sangat penting, karena segala upaya apa saja yang telah diusahakan--seperti mengeluarkan fatwa kolektif diatas—akan berakhir sia-sia tanpa langkah ketiga ini. Tentu kontribusi dari pihak terkait, khususnya penerbit, percetakan dan para donatur sangat berperan.
Lalu, mungkinkah membersihkan kitab-kitab turats dari hukum-hukum saling mengkafirkan tersebut? “iya, mungkin!” jawab Dr. Muhammad Imarah. Kemudian beliau menunjukan bukti-bukti konkrit atas kemungkinan tersebut bahwa segala upaya yang telah beliau lakukan bersama-sama tokoh lainya telah mampu mempengaruhi, baik bagi ulama Syi’ah maupun lainya.
- c. Taqrîb al-Madhâhib atau bahkan ihtidhân (maksud dari kedua istilah ini telah dijelaskan diatas). Menurut Dr. Mushthafa Sak’ah, (seorang pemikir Muslim kontemporer yang cukup terkemuka) ketika kita mau berfikir mendalam dan membuang jauh-jauh pemikiran membeku kita, maka kita tidak akan menemukan perbedaan terlalu signifikan diantara setiap madzhab, termasuk antara Sunni dengan Syi’ah, ataupun Sunni dengan Ibadhi. Sehingga, upaya untuk mendekatkan (baca-taqrîb) di antara masdzhab tersebut tidak akan mengalami kendala cukup signifikan. Imam Abu Hanifa yang Sunni adalah murid Imam Zaid bin Ali yang mana Syi’ah Zaidiayah dinisbahkan kepadanya. Abu hanifah belajar fikih dan ushulnya kepada beliau. Sementara, Imam Zaid bin Ali sendiri adalah murid petinggi Muktazilah, Washil bin Atha’ yang sedikit banyak telah mempengaruhinya. Sehingga wajar jika ditemukan dalam Syi’ah Zaidiyah pemikiran yang bernafaskan Muktazilah. Imam Malik bin Anas adalah murid dari Imam Ja’far ash-Shadiq seorang pemimpin Syi’ah Imamiyah atau ja’fariyah. Bahkan dikatakan, Imam Bukhari, seorang ulama hadits Ahli Sunnah pernah duduk dihadapan Iamam Imrân bin Khaththan yang Khawarij untuk bertalaki hadits kepadanya dan membukukanya. Kemudian Washil bin Atha’ dan Amru bin Ubai (kedua pemimpin Muktazilah) adalah murid dari Hasan al-Bashri.
Sebab itu, sebenarnaya di antara madzhab-madzhab tersebut memiliki hubungan cukup dekat. Perbedaan cukup mendasar, khususnya antara Sunni dan Syi’ah, lebih dalam masalah ‘imâmah’ yang kebetulan pada era kontemporer ini telah tidak berlaku lagi kecuali—mungkin—dalam ruang yang sangat sempit. Kemudian, perbedaan tentang nikah mut’ah hanyalah perbedaan dalam masalah fikih yang bisa didialogkan. Terlebih Ibadhiayah—yang sebenarnya sisa Khawarij—sangat marah ketika disebut Khawarij dan tidak pernah melaknat Sayidina Ali. Sehinngga, sebenarnya tak ada perbedaan signifikan antara Ibadhiyah dan Syi’ah kecuali dalam masalah Imamah. Disatu sisi, Ibadhiyah ini dalam masalah Imamah lebih cenderung sepakat dengan Ahli Sunnah. Karena itu, menurut Mushthafa Sak’ah, sebenarnya tidak terlalu sulit unutk menyatukan mereka. Asalakah dilakukan dengan niat dan cara yang benar.
Mungkin, Upaya taqrîb al-madzahib paling menonjol, khususnya antar madzhab fikih, adalah yang pernah diserukan oleh Imam Muhammad Abduh (1849-1905) yang tujuanya untuk menghindarkan umat dari fanatisme buta terhadap madzhab tertentu. Kemudian, pada tahun empat puluan di abad ke-20 juga telah berdiri lembaga “Jama’ah al-taqrîb Bainal Madhâhib” yang lebih mengfokuskan untuk mendekatkan ahli sunnah dan syi’ah imamiyah. Dipimpin oleh Syaikh Muhammad Ali Alubah Basya (1875-1956). Yang mana di dalamnya terdapat ulama-ulama cukup terkemuka semisal; Syikh Abdul Majid Salim, Syikh Muhammad Mushthafa al-Maraghi, Syaikh Mushthafa Abdur Raziq, Syaikh Mahmud Syaltût, Syaikh Ali al-Khafif, Syaik Abdul Azîz Isa, Syaikh Hasan al-Bana, Syaikh Sayyid Sabiq dan ulama Ahli Sunnah lainya. Sebagaimana juga di-ikuti oleh para pembesar ulama Syi’ah seperti; Sayyid Muhammad Taqiyuddin al-Qimiy, Sayid Muhammad al-Husaini, Sayid Syarafuddin al-Musawiy, Syaid Muhammad Jawâd dal ualam Syi’ah lainya.
Syaikh Mahmûd Syaltût pernah mengatakan; “Seruan untuk mendekatkan antar madzhab (taqrîb al-madhâhib) adalah seruan untuk mempersatukan umat. Ia merupaka seruan perdamaian dan islam…dan saya percaya bahwa pemikran taqrîb al-madhâhib adalah metode yang benar. Saya juga telah berkontribusi di lembaganya (Jama’ah al-taqrîb Bainal Madhâhib)…”. Sebagaimana juga Universitas Al-Azhar telah menerapkan prinsip taqrîb al-madhahib ini. Yang terakhir saya ingin mengatkan bahwa dialog yang obyektif dan jauh dari mencela lawanya—insyallah—akan mampu menjembatani transisi dari perpecahan dan pertikaian menuju menjadi sekedar perbedaan laksana perbedaanya empat madzhab (syafi’i, maliki, Hambali, hanafi) yang toleransi Sekian. semoga bermanfaat. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan. Wallahu a’lam bishhawâb.
Referensi: Kitab al-farq Bainal Firaq, karya; al-baghdady, Fitnah at-takfîr, karya; Muhamad Imarah, Islâm Bila Madzâhib, karya; Mushtafâ Sak’ah, faishal at-Tafrîqah, karya; al-Ghazali, Tafsîr al-Qurtûby, Tafsîr at-Thabary dll.