[Sukaramai /pakpak Bharat.] Adab pilarnya, aqidah landasannya. Kuatnya fondasi memudahkan kita membangun apa saja, setinggi apa pun di atasnya. Tegaknya pilar mengokohkan bangunan yang kita dirikan, baik melebar maupun meninggi, tanpa menjadikannya retak, rapuh, dan goyah. Lemah pilar tapi kuat fondasi, menyebabkan sulitnya kita membangun sesuai harapan. Fondasi tetap ada, tetapi makin tinggi makin berat beban yang harus ditanggung.
Maka pilar dan fondasi harus sama-sama kita perhatikan dengan baik. Kuat pilar lemah fondasi, menjadikan mereka tahu dan bersemangat terhadap kebaikan, tetapi mereka sulit mewujudkan apa yang menjadi keyakinannya. Kuat pilar lemah fondasi menjadikan perilaku mereka tampak baik, sikap mereka mengagumkan, tetapi ia sesungguhnya lemah. Mudah merobohkan apa yang telah ada. Jika pun kebaikan itu tetap mereka kerjakan, boleh jadi tak bernilai karena berbagai kebaikan itu tanpa niat yang lurus semata-mata untuk Allah Ta’ala dan karena Allah Ta’ala.
Karenanya, ta’dib (proses pembentukan adab) di sekolah menjadi keharusan, sebagaimana tidak adanya tawar menawar dalam masalah penanaman aqidah. Dan yang paling mendesak sekaligus mendasar untuk dibangun adalah tauhid dan niat.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin? Bukankah anak-anak usia TK dan SD/ MI kelas bawah merupakan usia bermain? Jawabnya, jika anak telah memiliki antusiasme belajar, punya gairah bersekolah yang sangat tinggi, apakah belajar menjadi beban baginya? Lihatlah, adakah anak-anak mengeluh ketika mereka menirukan orang dewasa berdemonstrasi atau melakukan long march? Tidak. Kenapa? Karena mereka bersemangat.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin? Bukankah anak-anak usia TK dan SD/ MI kelas bawah merupakan usia bermain? Jawabnya, jika anak telah memiliki antusiasme belajar, punya gairah bersekolah yang sangat tinggi, apakah belajar menjadi beban baginya? Lihatlah, adakah anak-anak mengeluh ketika mereka menirukan orang dewasa berdemonstrasi atau melakukan long march? Tidak. Kenapa? Karena mereka bersemangat.
Mari kita ingat sejenak nasehat Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Dalam Tuhfat al-Maudud bi Ahkam Al-Maulud mengatakan, “Diawal waktu, ketika anak-anak mulai bisa bicara, hendaknya mendiktekan kepada mereka kalimat laa ilaha illa llah Muhammadurrasulullah, dan hendaknya sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah laa ilaha illallah (mengenal Allah) dan mentauhidkan-Nya. Juga ajarkan kepada mereka bahwa Allah bersemayam di atas singgasana-Nya yang senantiasa melihat dan mendengar perkataaan mereka, senantiasa bersama mereka dimanapun mereka berada.”
Catatan penting, menanamkan tauhid dan membangun niat yang lurus dan kokoh pada anak bukan berarti penyampaian secara kognitif agar mereka memahami dengan baik. Pada usia TK dan SD/MI kelas bawah, belum saatnya memberi pembelajaran aqidah dengan penekanan secara kognitif. Yang mereka perlukan adalah dorongan, motivasi, dan sentuhan hati agar mereka mengingini, mencintai dan bersemangat memegangi sekaligus melakukan apa-apa yang diserukan oleh agama. Ini yang paling pokok.
Mari kita ingat ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam menasehati Ibnu Abbas RA yang ketika itu masih kecil. Apa hal pokok yang beliau tanamkan ke dalam dada Ibnu Abbas? Tauhid. Keyakinan yang kuat bahwa tidak ada yang dapat memberikan maslahat dan madharat kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Ini pula yang seharusnya kita bekalkan kepada anak-anak kita. Di sekolah, guru-guru TK dan SD/MI sMP/MTs paling bertanggung-jawab dalam menumbuhkan keyakinan –bukan hanya pemahaman—tentang kekuasaan Allah Ta’ala yang tiada sekutu baginya.
Mari kita renungi pesan Rasulullah kepada Ibnu Abbas, “Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini sebagai nasehat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan pada Allah.
Ketahuilah bahwa apabila seluruh umat manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu itu.Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikit pun kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering.” (Riwayat At-Tirmidzi).
Apa yang dapat kita petik? Keyakinan kepada Allah Ta’ala, menyandarkan diri hanya kepada Allah sehingga tidak merasa lemah di hadapan manusia, serta mengikatkan diri kepada Allah sebagai penentu takdir.
Pada jenjang selanjutnya, pembelajaran secara kognitif untuk memahamkan mereka tentang tauhid dan niat mulai perlu kita berikan. Tetapi kita harus tetap ingat bahwa ta’lim itu bukan hanya memahamkan secara kognitif dan memberi gambaran yang jelas kepada anak. Kita harus ingat bahwa ‘alim adalah seorang yang apabila semakin bertambah ilmunya, semakin bertambah pula rasa takut sekaligus kecintaannya kepada Allah. Ini berarti, ta’lim itu merupakan paket yang memuat pembelajaran secara kognitif, tadabbur untuk menyadari dan menghayati kebesaran serta nikmat Allah, sekaligus nashihah agar mereka merasa takut kepada Allah dan mencintainya dengan penuh keimanan.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” ( Al-Faathir {35}: 28).
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” ( Al-Faathir {35}: 28).
Ini berarti, harus ada langkah penting dalam mendidik anak-anak kita di sekolah. Sekadar perubahan pada mata pelajaran, tak berpengaruh besar pada diri murid. Tanpa guru-guru yang terasah imannya, pelajaran aqidah hanya akan bersifat kognitif saja. Dan ini tidak dapat menjadi landasan yang kokoh bagi proses ta’dib.
Maka, kita memerlukan guru-guru yang mencintai dien ini dan bersemangat belajar dien. Kita memerlukan guru yang meyakini dien ini dan menjadikannya sebagai penimbang, penakar dan penentu apakah gagasan, teori maupun metode yang muncul belakangan dapat kita terima, harus kita tolak seluruhnya atau kita ambil sebagian. Bukan sebaliknya, menakjubi segala hal yang tampak hebat, lalu mencari pembenarannya dalam dien ini.
Jika kita sudah menanamkan tauhid dan membangun niat yang lurus dan kokoh, barulah kita berbincang tentang ruang lingkup adab. Kita melakukan ta’dib sembari terus memberi pendidikan (tarbiyah) untuk masalah tauhid dan niat ini.
Lalu apa saja ruang lingkup yang harus kita perhatikan? Secara sederhana, kita memberikan ta’dib yang mencakup seluruh adab (manner & etiquettes) yang dituntunkan oleh dien ini. Tetapi pada saat awal, yang pertama kali kita tumbuhkan adalah adab terhadap guru, orangtua, orang yang lebih dewasa serta terhadap teman sebaya. Adapun dalam hal apa saja adab harus bangun, salah satu hal pokok adalah adab menuntut ilmu.
Lalu apa saja ruang lingkup yang harus kita perhatikan? Secara sederhana, kita memberikan ta’dib yang mencakup seluruh adab (manner & etiquettes) yang dituntunkan oleh dien ini. Tetapi pada saat awal, yang pertama kali kita tumbuhkan adalah adab terhadap guru, orangtua, orang yang lebih dewasa serta terhadap teman sebaya. Adapun dalam hal apa saja adab harus bangun, salah satu hal pokok adalah adab menuntut ilmu.
Semoga dengan ini, bekal sukses sebagai murid dapat mereka miliki, yakni percaya kepada guru, menghormati (memuliakan) guru serta memiliki ikatan emosi yang sangat kuat terhadap guru.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Hari ini sebuah headline news di Harian Waspada tentang Tarawih menjadi wacana yang menarik karena Perlu Fatwa MUI tentang rakaat Sholat. 2-2-2-2 yang tidak ada dalilnya, Benarkah demikian.Untuk itu disini saya memaparkan sekelumit SHALAT Tarawih adalah bagian dari shalat nafilah atau sunnat (tathawwu’). Mengerjakannya disunnahkan secara berjama’ah pada bulan Ramadhan, dan sunnah muakkadah. Disebut tarawih, karena setiap selesai dari empat rakaat, para jama’ah duduk untuk istirahat. Tarawiih itu artinya mengambil rehat.
Diriwayatkan bahwa Sayyidah Aisyah ditanya: “Bagaimana shalat Rasul pada bulan Ramadhan?”
Nabi telah melaksanakan dan memimpin shalat tarawih. Bahkan beliau menjelaskan fadhilahnya, dan menyetujui jama’ah tarawih yang dipimpin oleh sahabat Ubay bin Ka’ab. Berikut ini adalah dalil-dalil yang menjelaskan, bahwa shalat tarawih secara berjama’ah disunnahkan oleh Nabi, dan dilakukan secara khusyu’ dengan bacaan yang panjang.
Hadits Nu’man bin Basyir, ia berkata: “Kami melaksanakan qiyamul lail (tarawih) bersama Rasulullah pada malam 23 bulan Ramadhan, sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan (berakhir) sampai separoh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” (HR. Nasa’i, Ahmad, Al Hakim. (hadits ini) shahih)
Hadits Abu Dzar, ia berkata: “Kami puasa, tetapi Nabi tidak memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih), hingga Ramadhan tinggal tujuh hari lagi, maka Rasulullah mengimami kami shalat, sampai lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak keluar lagi pada malam ke enam. Dan pada malam ke lima,beliau memimpin shalat lagi sampai lewat separoh malam. Lalu kami berkata kepada Rasulullah, ‘Seandainya engkau menambah lagi untuk kami sisa malam kita ini?’, maka beliau bersada, ’Barang siapa shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai. maka ditulis untuknya shalat satu malam (suntuk).’ Kemudian beliau tidak memimpin shalat lagi, hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat pada malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai kami khawatir tidak mendapat falah.
Saya (perawi) bertanya, apa itu falah? Dia (Abu Dzar) berkata, “Sahur.” (HR Nasai, Tirmidzi, Ibn Majah, AbuDaud, Ahmad. (hadits ini) shahih).
Tsa’labah bin Abi Malik Al Qurazhi berkata: “Pada suatu malam, di malam Ramadhan, Rasulullah keluar rumah, kemudian beliau melihat sekumpulan orang disebuah pojok masjid sedang melaksanakan shalat. Beliau lalu bertanya, ‘Apa yang sedang mereka lakukan?’ Seseorang menjawab, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak pandai membaca Al Qur’an, sedang Ubay bin Ka’ab ahli membaca Al Qur’an, maka mereka shalat (ma’mum) dengan shalatnya Ubay.’
Beliau lalu bersabda, ‘Mereka telah berbuat baik dan telah berbuat benar.’ Beliau tidak membencinya.”(HR Abu Daud dan Al Baihaqi, ia berkata: Mursal hasan. Syaikh Al Albani berkata, “Telah diriwayatkan secara mursal dari jalan lain dari Abu Hurairah,dengan sanad yang tidak bermasalah (bisa diterima).”(Shalat At Tarawih, 9))
Shalat Tarawih Pada Zaman Khulafa’ur Rasyidin
Para sahabat Rasulullah, shalat tarawih di masjid Nabawi pada malam-malam Ramadhan secara awza’an (berpencar-pencar). Orang yang bisa membaca Al Qur’an ada yang mengimami 5 orang, ada yang 6 orang, ada yang lebih sedikit dari itu, dan ada yang lebih banyak.
Az Zuhri berkata, “Ketika Rasulullah wafat, orang-orang shalat tarawih dengan cara seperti itu. Kemudian pada masa Abu Bakar, caranya tetap seperti itu; begitu pula awal khalifah Umar.”
Abdurrahman bin Abdul Qari’berkata, “Saya keluar ke masjid bersama Umar pada bulan Ramadhan. Ketika itu orang-orang berpencaran; ada yang shalat sendirian, dan ada yang shalat dengan jama’ah yang kecil (kurang dari sepuluh orang). Umar berkata, ’Demi Allah, saya melihat (berpandangan), seandainya mereka saya satukan di belakang satu imam, tentu lebih utama,’ Kemudian beliau bertekad dan mengumpulkan mereka di bawah pimpinan Ubay bin Ka’ab. Kemudian saya keluar lagi bersama beliau pada malam lain. Ketika itu orang-orang sedang shalat di belakang imam mereka. Maka Umar berkata,’Ini adalah sebaik-baik hal baru.’ Dan shalat akhir malam nanti lebih utama dari shalat yang mereka kerjakan sekarang.”Peristiwa ini terjadi pada tahun 14H.
Umar mengundang para qari’ pada bulan Ramadhan, lalu memberi perintah kepada mereka agar yang paling cepat bacaanya membaca 30 ayat (3 halaman), dan yang sedang agar membaca 25 ayat,adapun yang pelan membaca 20 ayat (+ 2 halaman).
Al A’raj (seorang tabi’in Madinah,wafat 117 H) berkata, “Kami tidak mendapati orang-orang, melainkan mereka sudah melaknat orang kafir (dalam do’a) pada bulan Ramadhan.”
la berkata, “Sang qari’ (imam) membaca ayat Al Baqarah dalam 8 rakaat. Jika ia telah memimpin 12 rakaat, (maka) barulah orang-orang merasa kalau imam meringankan.”
Abdullah bin Abi Bakr berkata,
“Saya mendengar bapak saya berkata,’Kami sedang pulang dari shalat (tarawih) pada malam Ramadhan. Kami menyuruh pelayan agar cepat-cepat menyiapkan makanan, karena takut tidak mendapat sahur’. “
Saib bin Yazid (Wafat 91 H) berkata, “Umar memerintah Ubay binKa’ab dan Tamim Ad Dari agar memimpin shalat tarawih pada bulan Ramadhan dengan 11 rakaat. Maka sang qari’ membaca dengan ratusan ayat, hingga kita bersandar pada tongkat karena sangat lamanya berdiri. Maka kami tidak pulang dari tarawih, melainkan sudah di ujung fajar.” (Fathul Bari, 4/250-254; Shalat At Tarawih, 11; Al ljabat Al Bahiyyah,15-18; Al Majmu’, 4/34).
Selanjutnya, pada bagian ini akan dibahas mengenai jumlah rakaat shalat tarawih dan witir. Simak perselisihan para ulama’ yang bervariasi sampai kurang lebih 12 pendapat dan juga pemaparan hadits-hadits Rasulullah yang berkaitan dengan ini serta Apa saja?
Bilangan Rakaat Shalat Tarawih dan Shalat Witir
Mengenai masalah ini, di antara para ulama salaf terdapat perselisihan yang cukup banyak (variasinya) hingga mencapai belasan pendapat, sebagaimana di bawah ini.
- Sebelas rakaat (8 + 3 Witir), riwayat Malik dan Said bin Manshur.
- Tiga belas rakaat (2 rakaatringan + 8 + 3 Witir), riwayat Ibnu Nashr dan Ibnu Ishaq, atau (8 + 3 + 2),atau (8 + 5) menurut riwayat Muslim.
- Sembilan belas rakaat (16 + 3).
- Dua puluh satu rakaat (20 + 1), riwayat Abdurrazzaq.
- Dua puluh tiga rakaat (20 + 3), riwayat Malik, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Demikian ini adalah madzhab Abu Hanifah,Syafi’i, Ats Tsauri, Ahmad, Abu Daud dan Ibnul Mubarak.
- Dua puluh sembilan rakaat (28 +1).
- Tiga puluh sembilan rakaat (36 +3), Madzhab Maliki, atau (38 + 1).
- Empat puluh satu rakaat (38 +3), riwayat Ibn Nashr dari persaksian Shalih Mawla Al Tau’amah tentang shalatnya penduduk Madinah, atau (36 + 5) seperti dalam Al Mughni 2/167.
- Empatpuluh sembilan rakaat (40 +9); 40 tanpa witir adalah riwayat dari Al Aswad Ibn Yazid.
- Tiga puluh empat rakaat tanpa witir (di Basrah, Iraq).
- Dua puluh empat rakaat tanpa witir (dari Said Ibn Jubair).
- Enam belas rakaat tanpa witir.
Berapa Rakaat Tarawih Rasulullah?
Rasulullah telah melakukan dan memimpin shalat tarawih, terdiri dari sebelas rakaat (8 +3).
Dalilnya sebagai berikut.
Hadits Aisyah: ia ditanya oleh Abu Salamah Abdur Rahman tentang qiyamul lailnya Rasul pada bulan Ramadhan, ia menjawab: ”Sesungguhnya beliau tidak pernah menambah pada bulan Ramadhan, atau pada bulan lainnya. lebih dari sebelas rakaat.” (HR Bukhari, Muslim).
Ibn Hajar berkata, “Jelas sekali, bahwa hadits ini menunjukkan shalatnya Rasul (adalah) sama semua di sepanjang tahun.”
Hadits Jabir bin Abdillah ia berkata: ”Rasulullah shalat dengan kami pada bulan Ramadhan 8 rakaat dan witir. Ketika malam berikutnya, kami berkumpul di masjid dengan harapan beliau shalat dengan kami. Maka kami terus berada di masjid hingga pagi, kemudian kami masuk bertanya, “Ya Rasulullah, tadi malam kami berkumpul di masjid, berharap anda shalat bersama kami,” maka beliau bersabda, “Sesungguhnya aku khawatir diwajibkan atas kalian.“ (HR Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah, dihasankan oleh Al Albani. ShalatAt Tarawih, 18; Fath Al Aziz 4/265)
Pengakuan Nabi tentang 8 rakaatdan 3 witir
Ubay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah, lalu berkata,”Ya Rasulullah, ada sesuatu yang saya kerjakan tadi malam (Ramadhan). Beliau bertanya,”Apa itu, wahai Ubay?” Ia menjawab,”Para wanita di rumahku berkata,’Sesungguhnya kami ini tidak membaca Al Qur’an. Bagaimana kalau kami shalat dengan shalatmu?’ Ia berkata,”Maka saya shalat dengan mereka 8 rakaat dan witir. Maka hal itu menjadi sunnah yang diridhai. Beliau tidak mengatakan apa-apa.” (HR Abu Ya’la, Thabrani dan Ibn Nashr, dihasankan oleh Al Haitsami dan Al Albani. Lihat Shalat At-Tarawih, 68)
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah shalat tarawih dengan 20 rakaat, maka haditsnya tidak ada yang shahih. (Fathul Bari, 4/254; Al Hawi. 1/413; Al Fatawa Al Haditsiyah, 1.195: ShalatAt Tarawih, 19-21)
Setelah mengetahui shalat tarawih dan witir Rasulullah, lantas bagaimana shalat tarawih dan witir para sahabat dan tabi’in pada masa Umar?
Mengapa ada perbedaan di antara kedua masa itu?
Jika demikian, jalan apa yang ditempuh para ulama dalam hal ini?
Rakaat Tarawih Sahabat dan Tabi’in Pada Masa Umar
Ada beberapa riwayat shahih tentang bilangan rakaat shalat tarawih para sahabat pada zaman Umar . Yaitu: 11 rakaat, 13 rakaat, 21 rakaat, dan 23 rakaat. Kemudian 39 rakaat juga shahih, pada masa Khulafaur Rasyidin setelah Umar; tetapi hal ini khusus di Madinah.
Berikut keterangan pada masa Umar
a. Sebelas rakaat.
Umar memerintahkan kepada Ubay danTamim Ad Dari untuk shalat 11 rakaat. Mereka membaca ratusan ayat, sampai makmum bersandar pada tongkat karena kelamaan dan selesai hampir Subuh. Demikian ini riwayat Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib Ibn Yazid. Imam Suyuthi dan Imam Subkhi menilai, bahwa hadits ini sangat shahih. Syeikh Al Albani juga menilai, bahwa hadits ini shahih sekali.
b. Tiga belas rakaat.
Semua perawi dari Muhammd Ibn Yusuf mengatakan 11 rakaat, kecuali Muhammad Ibn Ishaq. Ia berkata 13 rakaat (HR Ibn Nashr), akan tetapi hadits ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang mengatakan 11 rakaat. Hal ini bisa dipahami, bahwa termasuk dalam bilangan itu ialah 2 rakaat shalat Fajar, atau 2 rakaat pemula yang ringan, atau 8 rakaat ditambah 5 rakaat Witir.
c. Dua puluh rakaat (ditambah 1atau 3 rakaat Witir).
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Muhammad Ibn Yusuf dengan lafadz “21 rakaat” (sanad shahih).
Al Baihaqi dalam As Sunan dan Al Firyabi dalam Ash Shiyam meriwayatkan dari jalur Yazid Ibn Khushaifah dari SaibIbn Yazid, bahwa – mereka- pada zaman Umar di bulan Ramadhan shalat tarawih 20 rakaat. Mereka membaca ratusan ayat, dan bertumpu ‘pada tongkat pada zaman Utsman, karena terlalu lama berdiri. Riwayat ini dishahihkan oleh Imam AlNawawi, Al Zaila’i, Al Aini, Ibn Al Iraqi, Al Subkhi, As Suyuthi, Syeikh Abdul Aziz bin Bazz, dan lain-lain.
Sementara itu Syeikh Al Albani menganggap, bahwa dua riwayat ini bertentangan dengan riwayat sebelumnya, tidak bisa dijama’ (digabungkan). Maka beliau memakai metode tarjih (memilih riwayat yang shahih dan meninggalkan yang lain). Beliau menyatakan, bahwa Muhammad Ibn Yusuf perawi yang tsiqah tsabit (sangat terpercaya), telah meriwayatkan dari Saib Ibn Yazid 11 rakaat. Sedangkan Ibn Khushaifah yang hanya pada peringkat tsiqah (terpercaya) meriwayatkan 21 rakaat. Sehingga hadits Ibn Khushaifah ini -menurut beliau-adalah syadz (asing, menyalahi hadits yang lebih shahih). (Al Majmu’, 4/32; Shalat At Tarawih, 46; Al Ijabat Al Bahiyyah. 16-18)
Perlu diketahui, selain Ibn Khushaifah tadi, ada perawi lain, yaitu Al Harits Ibn Abdurrahman Ibn Abi Dzubab yang meriwayatkan dari Saib Ibn Yazid, bahwa shalat tarawih pada masa Umar 23rakaat. (HR Abdurrazzaq). (Lihat At Tamhid 3/518-519)
Selanjutnya 23 rakaat diriwayatkan juga dari Yazid Ibn Ruman secara mursal, karena ia tidak menjumpai zaman Umar. Yazid Ibn Ruman adalah mawla (mantan budak) sahabat Zubair Ibn Al Awam (36 H), ia salah seorang qurra’ Madinah yang tsiqat tsabit (meninggal pada tahun 120 atau130 H). Ia memberi pernyataan, bahwa masyarakat (Madinah) pada zaman Umar telah melakukan qiyam Ramadhan dengan bilangan 23 rakaat. (HR Malik, Al Firyabi, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Lihat Shalat At Tarawih,53; Al Ijabat Al Bahiyyah, 16; At Tamhid, 9/332, 519; Al Hawadits, 141)
Pertanyaan seperti ini sering muncul di kalangan masyarakat. Sebagaimana hal ini juga pernah ditanyakan kepada Syekh Yusuf Qardhawi.
Qardhawi menjelaskan bahwa setiap Muslim dituntut untuk melaksanakan ibadah secara keseluruhan, yaitu menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu.
Barangsiapa yang meninggalkan salah satu dari kewajiban-kewajiban ini tanpa uzur, dia telah melanggar perintah Allah.
Mengenai masalah ini para ulama Islam berbeda pendapat. Ada yang berpendapat kafir terhadap orang yang meninggalkan salah satunya, ada yang menganggap kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengeluarkan zakat, dan ada pula yang menganggap kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat saja mengingat kedudukannya yang sangat penting dalam agama.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, "(Hal yang membedakan) antara seseorang dengan kekafiran ialah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim).
Mereka yang mengafirkan orang yang meninggalkan shalat beranggapan bahwa puasa orang yang meninggalkan shalat tidak diterima Allah. Alasannya, ibadah orang kafir sama sekali tidak diterima Allah.
Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa orang tersebut masih tetap dalam keadaan iman dan Islam selama dia masih membenarkan Allah dan Rasul-Nya beserta semua ajaran yang beliau bawa, dengan tidak mengingkarinya atau meragukannya.
Mereka hanya menyifati orang tersebut durhaka terhadap perintah Allah. Barangkali pendapat ini merupakan pendapat yang paling adil dan paling mendekati kebenaran.
Jadi, orang yang tidak memenuhi sebagian kewajiban karena malas atau karena mengikuti hawa nafsunya tetapi tidak mengingkari dan meremehkan ajaran Allah serta masih melaksanakan sebagian kewajiban yang lain, masih tetap dianggap orang Islam meskipun Islamnya tidak sempurna dan imannya lemah.
Memang dikhawatirkan imannya akan bertambah rusak bila ia terus menerus meninggalkan sebagian kewajiban tersebut. Tetapi Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala amal kebajikan yang dilakukan seseorang, bahkan yang bersangkutan berhak mendapatkan pahala di sisi Allah.