The New Challenges for E-learning: The Educational Semantic Web
Lora Aroyo
Technische
Universteit Eindhoven, Department of Mathematics and computer Science
5600 MD Eindhoven, The Netherlands Tel: +31 40 247 2765 Fax: +31 40
246 3992 l.m.aroyo@tue.nl, http://wwwis.win.tue.nl/~laroyo
Darina Dicheva
Winston-Salem
State University, Department of Computer Science 601 Martin Luther
King, Jr. Drive, Winston Salem, N.C. 27110 Tel: +1 336 750 2484 Fax:
+1 336 750 2499 dichevad@wssu.edu, http://www.wssu.edu/~dicheva/
ABSTRACT: The big question for many researchers in
the area of educational systems now is what is the next step in the
evolution of e-learning? Are we finally moving from a scattered
intelligence to a coherent space of collaborative intelligence? How
close we are to the vision of the Educational Semantic Web and what do
we need to do in order to realize it? Two main challenges can be seen in
this direction: on the one hand, to achieve interoperability among
various educational systems and on the other hand, to have automated,
structured and unified authoring support for their creation. In the
spirit of the Semantic Web a key to enabling the interoperability is to
capitalize on the (1) semantic conceptualization and ontologies, (2)
common standardized communication syntax, and (3) large-scale
service-based integration of educational content and functionality
provision and usage. A central role in achieving unified authoring
support plays the process-awareness of authoring tools, which should
reflect the semantic evolution of e-learning systems. The purpose of
this paper is to outline the state-of-the-art research along those lines
and to suggest a realistic way towards the Educational Semantic Web.
With regard to the latter we first propose a modular semantic-driven and
service-based interoperability framework, in order to open up, share
and reuse educational systems’ content and knowledge components. Then we
focus on content creation by proposing ontology-driven authoring tools
that reflect the modularization in the educational systems, maintain a
consistent view on the entire authoring process, and provide wide
(semi-) automation of the complex authoring tasks.
Keywords: E-learning, interoperability, concept-based WBES, educational Semantic Web
Dalam rangka
Akreditasi STAIS AD Kab. Dairi, BAN PT rabu, 12 Des 2012, melakukan visitasi ke
kampus STAIS AD Sidikalang, BAN PT mengirimkan Asesor Prof.Yusni Sabir Arraniry
B. Ar-Raniry Aceh dan Dr Abdul Munif UIN Suka Jogja . Peningkatanan
kualitas dan menjaga eksistensi dalam sebuah institusi atau lembaga pendidikan
merupakan hal yang penting untuk dilakukan secara berkelanjutan. Visitasi
dimaksudkan untuk melengkapi dan meningkatkan kecermatan, keabsahan serta
kesesuaian data dan informasi mengenai keadaan dan kinerja serta penilaian
lapangan di program studi yang diakreditasi. Dengan demikian, fokus visitasi
ini adalah untuk verifikasi dan validasi data yang telah dimasukkan dalam
Borang, serta mempunyai tujuan yang lebih substansial, yaitu melakukan
penilaian langsung secara kualitatif berdasarkan penilaian pakar (expert
judgement) oleh Tim Asesor yang ditentukan oleh BAN-PT.
Pertemun Tim Asesor dengan
civitas akedemika STAIS AD di Aula Kampus juga dihadiri seluruh dosen dan
utusan mahasiswa dalam rangka temu ramah sekaligus memberikan masukan-masukan
dlam rangka peningkatan Perguruan tinggi. Poin penting yakni perlu digaris
bawahi adalah Pergurun Tinggi hendaknya
menjadikan Dunia riset yang berkelanjutan.
Konstitusi Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan salah satu
rujukan yang harus diikuti oleh institusi pendidikan termasuk pendidikan
tinggi. Pasal 20 UU tersebut menyatakan dengan
tegas bahwa perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, di samping
melaksanakan pendidikan. Hal ini berarti pelaksanaan penelitian merupakan salah
satu ciri khas sebuah perguruan tinggi.
Pembangunan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni maupun agama melalui kegiatan penelitian
diharapkan dapat menjadi landasan untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan
masyarakat dengan merespon perubahan global dan tatanan baru kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu kegiatan penelitian ditujukan untuk penguatan Sistem
Inovasi yang kretif sehingga tidak terjadi kejumudan. Di sisi lain inovasi akan
diperoleh hanya dengan proses pembelajaran/penelitian yang berkelanjutan.
Ukuran kinerja sistem inovasi didasarkan pada nilai tambah ekonomi atau sosial
(outcome) inovasi.
Penciptaan pengetahuan
baru merupakan aspek penting dari
inovasi, dan kinerja sistem inovasi ditentukan oleh keberhasilan dalam difusi
dan adopsi pengetahuan baru di seluruh
sistem. Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah bahwa sistem inovasi
diharapkan tidak hanya bertumpu pada tujuan ekonomi tetapi juga untuk tujuan
non-ekonomi seperti Pendidikan penyediaan layanan kesehatan, ketahanan pangan,
penyediaan air bersih, keberlanjutan lingkungan
dan lain lain. Hal ini berarti penelitian diharapkan berperan dalam problem solving bagi masyarakat.
Sebagaimana Pada masa Darul
Hikmah di zaman Khalifah Al Mamun 850 M Penelitian saat itu di kepalai Hunain
Bin Ishak yang beragama Nasrani. Adalah
sebuah hikmah bahwa kita juga hendaknya mengusung them-thema tertentu seperti
pendidikan agama dari sisi multi cultural. Sehingga tidk terjadi kejenuhan
penelitian. Hal ini sangatlah tepat dilakukan di jajaran Civitas akedemik STAIS
AD sidikalang.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis
dengan pendekatan Induktif Proses
dan makna lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori manfaatkan sebagai pemandu agar
fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori
juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan
sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Terdapat perbedaan mendasar antara
peran landasan teori dalam penelitian
kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Dalam penelitian
kuantitatif, penelitian berangkat dari teori menuju data, dan berakhir pada penerimaan
atau penolakan terhadap teori yang digunakan; sedangkan dalam penelitian
kualitatif peneliti bertolak dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai
bahan penjelas, dan berakhir dengan suatu “teori”..Penelitian kualitatif lebih dekat dengan subyek demikian pemaparan Dr. Abdul
Munif ( adalah adik kelas setahun dibawah Pak RAA)
Beliau juga menjelaskan sebagai
seorang dosen hendaknya Up Date informasi terus menerus, mutu kualitas
pembelajaran menjadi perhatian penting,jangan
diktatnya terus begitu-begitu saja. Sebagaimana Kampus UIN Suka Jogja, Indeks prestasi
(IP) bagi dosen juga diberlkukan dalam rangka kemampuan dosen mengajar sehingga
profesionalitas dosen menjadi suatu keharusan.
Sementara itu Prof Yusni
Sabi mantan Rektor Arraniry menekankan Disiplin dan nigam. Disiplin yang
memiliki berbagai arti, baik sebagai kata benda maupun kata kerja, yang antara
lain disiplin dimaksudkan sebagai bidang ilmu. Namun makna disiplin terkait
dengan hal yang sering diabaikan adalah disiplin dalam permasalahan perilaku
orang tentang suatu aturan.
Disiplin adalah “a system of rules governing conduct” atau “to impose
order upon or to bring under control”, dan sering juga lalu disamakan
dengan “punishment”.
Dengan demikian wajib di apresiasi semua
masukan-masukan dan tentunya keberhasilan visitasi dalam kunjungi serta memahami
kondisi STAIS AD Kab. Dairi. Asesor tidak boleh ragu-ragu untuk memberikan
saran atau kritik yang membangun kepada setiap institusi/program studi yang
dikunjungi. Semoga STAIS AD Kab. Dairi lebih berbenah dan lebih maju lagi
dimasa depan.
Pendahuluan.
Tulisan ini terinspirasi Pertemun Penulis dengan Papun Unco Angkat salah satu Tokoh yang mumpuni dalam mencari informasi dan data di tanah pakpak tercinta dan juga mantan Lurah Sidiangkat tokoh yang Bersahaja. Saat pertemuan Santai dan mrandal di Base Campnya Sidiangkat Gerbang 3 N0 2 dengan suguhan kelapa muda dari Sukaramai Kab. Pakpak Bharat pada waktu yang lalu. Ada sebuah kata yang sangat menggelitik "Pengusaha Kopi Koq tanam Jeruk" ( rimo) di sidiangkat. Pernyataan tersebut memang bukanlah masalah bagi mereka para pengusaha yang mencari profit. namun sedikit bertolak belakang bila kita ingin memperjuangkan Pengakuan Indikasi geografis yang nota bene dalam rangka peningkatan produktifitas dan kualitas serta memperluas lahan-lahan kopi yang selama ini di dengungkan oleh salah satu penguasaha tersebut. Wajar kiranya kita kritisi lebih jauh dan sebagai kritik membangun kepada beliau yang telah malang melintang baik dimanca negara maupun di nusantara. Semoga tidak tergelitik dengan keuntungan dan kesuksesan menanam Jeruk hingga lupa bahkan melupakan perluasan Tanaman Kopi Rabusta sehingga Kemas Pe Kopinta ( Kleompok Masyarakat Petani Kopi Robusta Kab. Dairi) Menjadi tinggal nama.
Memaintenence hal diatas adalah pekerjaan yang tidak gampang dan sekaligus juga menjaga Imej bakan Brand yang sekian lama telah dikenal konsumen. Untuk itulah sebagai pengamat sekaligus konsumen selayaknya kita prihatin sekaligus juga berusaha agar jangan sampai hal yang fatal terjadi. Sesungguhnya Pemkab. Dairi cepat tanggap tentang fenomena perubahan lahan-lahan di Kab. Dairi. Bila hal tersebut maka tenggelamlah nama Kopi Sidikalang diantara Kopi-kopi didaerah Nusantara. ini yang perlu kita cari solusinya bersama.
Salah satu solusi tersebut adalah kita mengembangkan secara "Re up Grade" Peluang dan tantangannya kedepan hingga kita berperan serta dalam peningkatan prekonomian skala lokal dan global. Inilah salah satu sosialisasi Geographical Indication atau sering disebut Indikasi geografis bagaimana agar kita senantisa memahami dan goalnya adalah sebagaimana judul diatas menjadikan kita bersama di Kab. Dairi bahu membahu agar tercapainya pengakuan yang berimpac keberasilan kita menjual Kopi Sidikalang dan mampu bersaing dengan kopi-kopi lokal maupun manca negara.
Apa itu IG atau Indiksi Geogrfis ?
Geographical Indication atau Indikasi Geografis (IG) yang tertuang dalam norma Persetujuan TRIPs merupakan pengembangan dari aturan mengenai Appellation of Origin (“AO”) sebagaimana diatur dalam The Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1883 (Konvensi Paris 1883), sebagai berikut:
… the geographical name of a country, region, or locality, which serves to designate a product originating therein, the quality and characteristic of which are due exclusively or essentially to the geographical environment, including natural and human factor.
Bersama dengan Indikasi Asal (Indication of Source), AO termasuk dalam aturan nama dagang yang memakai nama tempat untuk produk dagangnya. Nama tempat berfungsi sebagai tanda pembeda. Lebih luas pengertiannya dari AO yang harus sama persis dengan produknya, IG merujuk tidak hanya pada nama tempat, tetapi juga tanda-tanda kedaerahan atau lambang dari lokasi bersangkutan yang mengidentifikasikan asal produk khas bersangkutan. Contohnya seperti Menara Petronas, Opera House Sidney ataupun Rumah Adat Toraja. Tanda itu bukan produk dagangnya, tetapi melekat pada produk sebagai tanda asal yang berhubungan dengan kerakteristik produknya. Bandingkan kondisinya dengan produk berupa Champagne, Tequila, ataupun keju Parmagiano. Kesemuanya merupakan contoh IG.
Definisi Persetujuan TRIPs mengenai IG dituangkan dalam Pasal 22 ayat (1), sebagai berikut:
… indication which identify a good as originating in the territory of a Member, or a region or locally in that territory, where a given quality, representation or other characteristic of the goods is essentially attributable to its geographical origin.
IG sendiri pengaturannya dalam Persetujuan TRIPs tidak mengatur lebih jauh ihwal norma tertentu yang harus diikuti Negara peserta. Standar minimum yang harus dilakukan setiap Negara peserta hanyalah melakukan cara-cara hukum dalam rangka perlindungannya (legal means), termasuk singgungannya dengan persaingan tidak sehat (unfair competition). Bentuk perlindungan seperti apa diserahkan pada kebijaksanaan masing-masing Negara. Aturan IG pun boleh dimasukkan di dalam ataupun di luar aturan Merek. Walaupun TRIPs sendiri mengakui bahwa baik IG maupun Merek merupakan rezim yang independen.
Adanya aturan mengenai IG di Indonesia, sebagai salah satu bentuk norma perlindungan HKI, hadir setelah keikutsertaan dan ratifikasi Indonesia dalam Persetujuan TRIPs (vide Keppres No. 7 Tahun 1994). Norma baru yang merupakan bagian dari penyesuaian aturan HKI pasca penandatanganan Persetujuan TRIPs ini dimasukkan dalam rezim Merek sebagaimana tertuang dalam UU No. 14 Tahun 1997 tentang Merek dan dalam UU Merek yang baru, UU No. 15 Tahun 2001 (“UU Merek”). Norma pembatasannya tercantum pada Pasal 56 ayat (1) UU Merek, sebagai berikut:
Indikasi-geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
Serupa dengan perlindungan Merek di Indonesia, perlindungan IG juga mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran. Hanya saja pendaftaran dilakukan oleh kelompok masyarakat atau institusi yang mewakili atau memiliki kepentingan atas produk bersangkutan. Berbeda dengan perlindungan merek, IG tidak mengenal batas waktu perlindungan sepanjang karakteristik yang menjadi unggulannya masih tetap dapat dipertahankan. Penjabaran secara rinci ihwal perlindungan IG dituangkan dalam aturan pelaksana berupa PP No. 51 Tahun 2007 tentang Indikasi-Geografis (“PP 51/2007”).
Upaya pendaftaran kopi Sidikalang sebagai IG di Indonesia diperlukan sebagai langkah awal pengakuan hak. Keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi internasional seperti Perjanjian Lisabon 1958 perlu dijajaki untuk memperkuat kepemilikan IG dalam wadah internasional. Di samping itu, Perjanjian ini memuat pula aturan yang mengutamakan kekuatan pendaftaran IG sehingga dapat meletakan kepemilikan Merek dalam prioritas kedua, sekalipun sudah terdaftar lebih dahulu atas dasar itikad baik (vide Pasal 5 ayat [6] Penjanjian Lisabon 1958). Namun, upaya hukum pun perlu mengingat azas teritorial HKI. Aturan hukum setempat perlu menjadi acuan pertimbangan dan kajian berkaitan dengan bentuk perlindungan IG berikut Merek dan ihwal Persaingan Tidak Sehat di Jepang.
Pelajaran berharga dari kasus ini bahwa kesadaran untuk melindungi aset berharga seringkali tertinggal karena rasa memiliki baru hadir setelah potensi alam/bangsa kemudian diklaim oleh pihak asing yang bermata jeli dan menghargai nilai komersial dari aset tersebut. Potensi nilai ekonomis dari kopi Toraja telah disadari dan dilirik oleh pengusaha Jepang. Kasus ini mengemuka setelah adanya norma IG yang diperkenalkan Persetujuan TRIPs. Oleh karenanya, perlu pembenahan dalam pendokumentasian aset nasional. Kemajuan yang tercatat saat ini, produk-produk IG yang telah bersertifikat, antara lain: Kopi Kintamani Bali, Kopi Arabika Gayo, Lada Putih Muntok, Mebel Ukiran Jepara, Tembakau Mole Sumedang, Tembakau Hitam Sumedang, Susu Kuda Sumbawa, Kangkung Lombok, dan Beras Adan Krayan.
Dengan demikian bukan saja harapan pengusaha serta masyarakat sebagaiamana salah satu Pengusaha Kopi di Kab. Dairi H. Sabilal Rasyad Maha pernah juga diwawancarai Bulletin Rintis Prana edisi XLII Tahun ke IV Agustus 2012 berharap segera teralisir. Semoga saja Pemkab. Dairi Dengan Sloganya Bekerja untuk Rakyat yang semakin sering dipajang disimpang simpang perempatan tidak menutup mata atas kenyataan dan fakta yang ada, serta bersungguh-sungguh kita perjuangkan demi masa depan Dairi Jaya. Mari kita duduk bersama memikirkannya dan action bukan hanya slogan dan kata-kata (RAA)