الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ وَفَّقَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادِهِ لِحِفْظِ حُدُوْدِهِ ، وَأَعَانَهُمْ بِمَنِّهِ وَفَضْلِهِ عَلَى اْلقِيَامِ بِحُقُوْقِهِ ، حَفِظُوْا حُدُوْدُ اللهِ فَحَفِظَهُمُ اللهُ ، وَاتَّجَهُوْا بِقُلُوْبِهِمْ إِلَى اْلإِسْتِعَانَةِ بِرَبِّهِمْ فَأَعَانَهُمُ اللهُ .عَلِمُوْا أَنَّ اْلأَمَّةَ لَوِاجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَنْفَعُواا لْعَبْدَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْهُ إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَهُ، فَعَلَّقُوْا رَجَاءَهُمْ بِهِ، وَأَيْقَنُوْا أَنَّ اْلأَمَّةَ لَوِاجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوااْلعَبْدَ بِشَيْئٍ لَمْ يُضِرُّوْهُ إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْهِ ، فَاعْتَمَدُوْا عَلَيْهِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَبِيَدِهِ مَلَكُوْتُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، اْلبَشِيْرُ النَّذِيْرُ ، السِّرَاجُ الْمُنِيْرُ ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى أَلِهِ، وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَىْ يَوْمِ الدِّيْنِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Kita telah mengetahui, bahwa Allah memerintahkan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya. Setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas pahala amal ibadah, sesuai dengan tingkatannya. Namun, kita perlu menyadari, bahwa amal ibadah kita, tidak semua akan diterima. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Jika amal seseorang telah memenuhi persayaratan itu, berarti amalnya akan diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jika kurang, maka akan ditolak. Sebagai seorang muslim yang menghendaki agar amal ibadahnya diterima dan mendapatkan ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui dan selanjutnya memenuhi persyaratan itu. Sebab, apalah artinya amal banyak, namun tidak mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala?! Bahkan justru sebaliknya, menyebabkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sia-sialah kita dalam beramal, kalau pada akhirnya akan ditolak dan dikembalikan kepada kita.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Dalam Alquran Surat Al-Furqan, Allah telah berfirman,
وَقَدِمْنَآ إِلَى مَاعَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَآءً مَّنثُورًا
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Ibnu Katsir menjelaskan, ini merupakan kejadian pada hari kiamat. Yaitu pada saat amal-amal dihisab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Melalui surat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, bahwasanya amalan-amalan orang kafir dan musyrik tidak menghasilkan apa-apa, berapa pun banyaknya. Karena amalan-amalan mereka itu tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Belum cukupkah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut mendorong kita untuk mempelajari syarat diterimanya amal?
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Amal ibadah akan diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika memenuhi dua syarat. Pertama, Ikhlas. Artinya, beribadah hanya kepada-Nya saja dan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak menerima satu amalan, kecuali amalan yang diikhlaskan untuk-Nya dan untuk mencari wajah-Nya.” (HR. An-Nasa’i)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Sesunguhnya amal itu tergantung niatnya.”
Dalam hadis lain,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim)
Masalah keikhlasan ini berkaitan dengan hati. Dan masalah hati tidak bisa dipisahkan dengan niat. Perkara ini terkadang banyak diremehkan oleh manusia, sehingga merasa tidak perlu lagi mengoreksi hati. Tidakkah kita mengetahui, bahwa masalah ini dianggap besar oleh para ulama salaf? Tengoklah yang dikatakan oleh Sufyan Tsauri, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada niatku. Karena dia berbolak-balik.”
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Itulah pandangan ulama salaf dalam masalah hati. Masalah hati sangat mereka perhatikan ketika beramal. Sehingga dalam sejarah perjalanan hidup mereka, kita mendapati berbagai macam usaha yang mereka lakukan untuk menjaganya, dan menutup pintu masuk setan yang hendak membelokkannya. Ingatlah, setan merupakan musuh orang-orang beriman. Dia tidak akan pernah tinggal diam. Dia akan selalu berusaha dengan segala cara untuk menggoda manusia, sehingga rusaklah amal.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Syarat kedua agar diterimanya amal seseorang, ialah ittiba. Artinya, amal ibadah itu harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaulah utusan Allah yang diperintahkan untuk menyampaikan risalah-Nya. Sebagai utusan-Nya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling mengetahui tentang risalah-Nya. Dan semuanya sudah disampaikan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sudah seharusnya kaum muslimin mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Demikian itulah dua syarat yang disimpulkan oleh para ulama dari banyak dalil, baik dari Alquran maupun sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua syarat inilah yang akan menentukan amal kita diterima ataukah ditolak. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka tidak akan diterima. Jika persyaratan yang tidak terpenuhi itu syarat yang pertama, maka si pelaku bisa terjerembab ke dalam lembah kesyirikan, wal’iyadzubillah. Sedangkan jika yang tidak terpenuhi itu syarat yang kedua, maka si pelaku masuk ke dalam perbuatan bid’ah yang sesat.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Imam Ibnul Qayim mengatakan, “Seseorang tidak akan mungkin bisa merealisasikan iyyaka na’budu (maksudnya peribadatan kepada Allah), kecuali dengan dua dasar. Yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Fudhail Bin Iyadh, menjelaskan makna ayat,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk: 2)
Maksud kalimat ahsanu amalan ialah yang paling ikhlas dan paling benar amalnya. Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali. Apa yang dimaksud dengan yang paling ikhlas dan paling benar amalnya?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya amal itu, jika dikerjakan ikhlas karena Allah akan tetapi tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak akan diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian juga jika amal itu benar sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi tidak ikhlas, maka tidak diterima Allah sampai amal tersebut memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas dan benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Hujajul Qawiyyah, Hal. 12)
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Amalan-amalan yang telah memenuhi kedua syarat tersebut, dinamakan dengan amal shalih. Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabb-nya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Juga dalam firman-Nya,
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنُ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) dan bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112)
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Sebagai seorang muslim, kita harus berusaha untuk mewujudkan kedua persyaratan tersebut ketika beramal. Rasanya sulit bagi kita untuk mewujudkannya, kecuali dengan senantiasa belajar dan belajar lagi. Dan alhamdulillah, pada saat ini kita tidak terlalu kesulitan mempelajari agama kita. Berbagai media telah dimanfaatkan oleh para dai untuk membantu kita dalam memahami ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian bagaimanakah kita sekarang. Maukah kita mempelajari agama ini untuk memperbaiki amaliah kita ataukah tidak? Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada kita kemudahan untuk mempelajari, memahami dan selanjutnya mengamalkan ilmu yang sudah kita terima.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْانِ الْعَظِيْمِ , وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأَيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ , أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ الله َلِيْ وَلَكُمْ وَلِكَافَةِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ , فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
KHUTBAH KEDUA
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَلَهُ الْحَمْدُ فِي الْآخِرَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ
Dalam khutbah pertama, telah saya jelaskan tentang dua syarat diterimanya suatu amal. Maka dalam khutbah yang kedua ini ingin kami sampaikan pembagian manusia berdasarkan kedua syarat tersebut.
Salah seorang ulama besar Ibnul Qayyim Al Jauzi berkata, “Berdasarkan kedua syarat yang agung ini, manusia terbagi menjadi empat golongan.
Ahlul ikhlas dan muttaba’ah (orang yang ikhlas dan mengikuti). Merekalah ahlu iyyaka na’budu yang hakiki. Sehingga semua amal-amal mereka, pembicaraan, pemberian, pelarangan, kecintaan serta kebencian mereka, semuanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Muamalah mereka lahir-batin ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Demikian juga amal-amal serta ibadah-ibadah mereka, sesuai dengan perintah Allah, sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhai-Nya.
Inilah amalan yang akan diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan untuk tujuan ini jualah Allah menguji hambanya dengan kematian dan kehidupan, Allah tidak akan menerima suatu amal, jika tidak dilandasi keikhlasan karena Allah dan sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amal yang tidak sesuai dengan kedua syarat tersebut akan dikembalikan kepada pelakunya bagaikan debu yang berhamburan. Semua amal yang tidak mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak akan menghasilkan kebaikan apa-apa, bahkan akan menambah semakin jauh dari Allah.
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Itulah golongan pertama yang disebutkan oleh Ibnul Qayim, sebuah golongan yang benar dalam beramal dan akan mendapatkan balasan baik dari Allah. Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan yang pertama ini.
Kemudian beliau menyebutkan tiga golongan lainnya yang menyimpang yaitu,
- Orang yang tidak ikhlas dan juga tidak mengikuti tuntunan. Mereka ini seperti orang-orang yang mencari nama dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang disyariatkan. Mereka inilah sejelek-jelek makhluk dan makhluk yang paling dimurkai.
- Orang yang beramal ikhlas karena Allah, tetapi tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti ahli ibadah yang tidak tahu apa-apa, atau siapa saja yang beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak pernah disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Orang yang beramal sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi tidak ikhlas karena Allah. Misalnya seseorang beramal mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar mendapatkan pujian, berjihad agar disebut sebagai pemberani, berhaji agar dipanggil haji, dll. Secara zhahir kelihatannya amal shalih, padahal sesungguhnya bukan amal shlaih. (Hujajul Qawiyyah, Hal. 13)
Ma’asyiral muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Setelah mengetahui empat golongan manusia tadi, maka marilah kita mawas diri, masuk ke dalam golongan manakah kita ini? Barangsiapa yang memiliki ciri-ciri golongan pertama, yaitu ikhlas dalam beramal dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hendaklah ia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas karunia-Nya tersebut, serta berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar senantiasa diberikan kekuatan untuk istiqomah. Dan agar pendiriannya ditetapkan berada di atas agama yang benar ini. Sebaliknya barangsiapa yang mendapati pada dirinya ciri-ciri golongan kedua dan seterusnya, maka hendaklah segera bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benar taubat, sambil senantiasa berdoa agar mendapat taufik dan hidayah-Nya.
Demikianlah khutbah yang bisa kami sampaikan. Semoga bermanfaat bagi kita. Yang benar semuanya dari Allah, dan yang salah semuanya dari sisi saya dan setan.
باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ القُراْنِ الْعَظِيْمِ , وَنَفَعَنِيْ وَإِياَّكُمْ بِمَافِيْهِ مِنَ اْلأَياَتِ وَالذِّكْرِالْحَكِيْمِ , أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا واسْتَغْفِرُاللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِكَافَةِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَتْبٍ , فاَسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَالْغَفُوْرُالرَّحِيْمُ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ, اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَِلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاَّ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ, وَأَقِمِ الصَّلاَةَ
Marhaban Ya Ramadhan February 02, 2012 New Google SEO Bandung, Indonesia
Sosiologi sejak awal memiliki perhatian khusus pada masalah agama, yang kemudian di belakang hari dikenal dengan kajian sosiologi agama. Karya Ibn Khaldum (Muqaddimah) sebenarnya dapat dikategorisasikan sebagai sosiologi agama di era klasik. Emile Durkheim dan Marx Weber termasuk sosiolog klasik di Barat yang secara khusus menyajikan kajian sosiologi agama, di samping Karl Marx dalam tema yang terbatas. Para sosiolog ternama lainnya di era mutakhir yang secara khusus menyajikan sosiologi agama ialah Bryan Wilson, Peter Berger, Roland Robertson, Bryan S. Turner, Robert N. Bellah, dan lain-lain.
Di Indonesia belum banyak sosiolog yang menyajikan sosiologi agama secara spesifik, pada umumnya karya-karya tentang agama khususnya tentang Islam, lebih kuat tekanannya pada studi Islam (Islamic studies, dirasat Islamiyah), kecuali karya-karya disertasi/buku dengan mengambil fokus kajian aspek agama. Karena itu, sejauh pengamatan penulis, kajian tentang sosiologi agama atau bahkan sosiologi agama itu sendiri, di negeri ini tampaknya masih merupakan wilayah kajian yang masih terbatas. Padahal, masalah agama dengan dinamika kehidupan pcmeluknya merupakan persoalan yang penting dan krusial dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yang mernerlukan perspektif sosiologi agama yang lebih spesifik atau terfokus, di luar kajian studi Islam.
Rintisan Prof.H.A.Mukti Ali mengcnai agama dan masyarakat sebenarnya dapat dijadikan studi awal dan titik-tolak untuk sosiologi agama di Indonesia, kendati masih bersifat gabungan antara studi Islam dan sosiologi agama (Islam). Karya-karya Atho Mudzhar (Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek), Amin Abdullah (Islamic Studies), UIN Yogyakarta dan Jakarta, LIPI, UGM, dan Balitbang Depag R.l. dapat dijadikan masukan untuk pengembangan sosiologi agama. Penulis belum tahu persis bagaimana perkcmbangan kajian sosiologi agama di lingkungan UIN/IAIN yang dalam dasawarsa terakhir banyak memasuki wilayah sosiologi dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya, perlu dilakukan penelitian khusus mengenai masalah tersebut.
Studi Islam sendiri sangatlah penting, namun memerlukan perspektif yang lebih empirik dengan pengembangan metodologi yang bersifat multi-perspcktif dan multi-analisis, mengingat fenomena agama dan kehidupan beragama sangatlah kompleks. “Islamic studies” atau “Dirasat Islamiyah” terutama dalam perspektif yang selama ini dikembangkan di dunia akadamik perguruan tinggi Islam memang Iebih memusatkan perhatian kajiannya pada aspek-aspek khusus keagamaan dan ajaran Islam atau dunia pemikiran Islam. Dalam acuan di Departemen Agama, kajian tersebut meliputi aspek-aspek studi al Qur’an dan Hadis (Ulumul Qur’an dan Ukumul Hadis), pemikiran dalam Islam (Kalam, Falsafah, Tasawuf, Aliran Modern), Fikih/Hukum Islam dan Pranata Sosial (Fikih Islam, UsuI Fikih, Pranata Sosial, Ilmu Falak), Sejarah dan Peradaban Islam (Sejarah lsIam dan Peradaban Islam), Bahasa (Bahasa arab dan Sastra Arab). Pendidikan Islam (Pendidikan dan Pengajaran Islam, Ilmu Nafsil Islamy), Dakwah lslamiyah (Dakwah Perbandingan Agama), dan Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam (Hukum, Politik, Sosial, Ekonomi) .
Namun menarik pula bahwa dalam kurun tcrakhir “Islamic Studies” juga mengalami pergeseran paradigma (shifting paradigm) antara wilayah “keagamaan” dan “keilmuan” serta antara “normativitas” dan “historisitas” , bahkan muncul tuntutan adanya “integrasi” atau “interkoneksitas” dengan ilmu-ilmu sosial dan berbagai paradigma lain . Artinya studi Islam pun mengalami perkembangan yang pesat, yang mempertemukannya dengan studi-studi agama di wilayah sosiologi, antropologi, fenomenologi, psikologi, ekonomi, selain area teologi. Tetapi memang memerlukan “the body of knowledge” yang jelas tentang posisi studi agama (khususnya studi Islam) dibandingkan pendekatan-pendekatan kajian agama berbasis sosiologi, antropologi, dan sebagainya. Ada keperluan pula dalam studi agama, yakni memberikan pemahaman yang luas dan mendalam bagi pemeluk agama tentang agamanya, sehingga agama benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin di mana pun agama dan umat beragama itu hadir.
Marhaban Ya Ramadhan February 02, 2012 New Google SEO Bandung, Indonesia
www.blogger.com/profile/13203216328167571232
Sering kita mendengar kata Islam liberal, namun belakangan ini mencuat kepermukaan yang baru yaitu istilah Islam Post Liberal. Penggagasnya adalah Sumanto Al Qurtuby (36 th) Islam Post Liberal ini merujuk pada menempatkan ide-ide universal kemanusiaan diatas segala-galanya. Gagasan ini berbeda dengan gagasan yang dikembangkan kalangan Islam Liberal atau islam progresif. Islam Post Liberal melampaui gagasan normatif keagamaan dan ketuhanan.. Nilai-nilai kemanusiaan mengatasi nilai-nilai ketuhanan. Jalan Keselamatan bukan monopoli kaum agama, melainkan juga kelompok ”Non Agama” memandang bahwa tafsir heremeneutik tidak cukup untuk memahami misteri, sejarah, fenomena dan wacana keagamaan masa lampau. Paparan Sumanto ini di ekspose di harian Kompas 28 januari 2012 menyatakan bagaimana islam post liberal menuntut satu penjelasan menyeluruh tentang pengalaman teologis agama-agama lain.Sebagaimana halnya ia langsung berbaur dengan komenitas mennonite Amerika tahun 2005-2007 Kristen ”illiberal” dalam pemahaman keagamaan dan wawasan teologisnya Tanpa sengaja hidup bersama kelompok Mennonite Amerika ini, bagi Sumanto, memberikan kontribusi semangat dialogis yang sudah dikembangkan semasa sebelum menempuh kandidiat MA dan doktor di AS. Pengalamannya menyaksikan nestapa Amerika serikat saat diguncang bom gedung WTC As 11 september 2001, mengingatkan Sumanto seorang Cendikiawan Muslim Mesir, Dr. Taufik Hamid. Dua puluh lima tahun sebelumnya, Taufik Hamid seorang ekstrimis dan teroris yang bergabung dalam Alqaeda. Tetapi karena menyaksikan teman-temannya melakukan tindakan tidak terpuji ia berbalik arah. Dia angkat bicara, ” kekerasan bukanlah jawaban untuk mencapai satu tujuan” kalau islam ingin dihargai dihormati agama orang lain hargailah dan hormatilah orang-orang yang berbeda kepercayaan. Kemudian Taufik Hamid menyatakan” Saya seorang Islam dalam iman, seorang kristen dalam semangat, seorang jahudi dalam hati. Dan diatas semuanya saya seorang manusia. Ahmad Safii Maarif menggolongkan Sumanto sebagai pemikir muda muslim yang gelisah. Perintah tegaknya nilai-nilai kebebasan, keadilan dan kemanusiaan dimuka bumi bagi Sumanto merupakan pesan inti semua agama, apalagi islam, namun demikian pesan-pesan diatas yang sering dilumpuhkan oleh rezim-rezim yang menggunakan payung islam. Kondisi itulah yang menjadi keprihatinan dan kegelisahannnya. Pemikiran Sumanto ini pasti akan menyulut kontraversi yang kuat dikalangan islam sendiri namun bagaimanapu kita hendaknya berkepala dingin menyikapinya, sebagaimana juga ketika pro-kontra Jil misalnya, sangat-sangat banyak kecaman dari kalangan tokoh agama maupun umat kepada Ulil Absar Abdala.
Jika kita runut kebelakang ada beberapa orang ahli yang mencoba menyelidiki sampai sejauh manakah pengaruh agama memotivasi aktivitas kehidupan masyarakat atau individual dalam hidupnya. Meskipun motif penyelidikan pada jaman kejaman dari jaman yang sama maupun yang berbeda, namun tujuannya juga bisa berbeda pula.
Bertitik tolak dari hipotesa, bahwa kehadiran suatu agama kedalam satu masyarakat bukan saja merupakan suatu milik pribadi yang mampu melonjakkan pribadi tersebut kedalam alam akhirat yang teramat ideal, akan tetapi juga karena pengaruh suatu kehadiran agama juga berhasil mengimplikasi pada stratifikasi sosial, pergeseran pergeseran serta tingkah laku kongkrit pada dinamikanya kehidupan suatu masyarakat dalam wujudnya yang riil dan nyata.
Dari sini gambaran yang diperlihatkan relatif lebih jelas. Bahwa betapa kehadiran suatu agama kedalam suatu bangsa ataupun suatu masyarakat, individu tertentu akan memiliki potensi implikasi positif terhadap bangsa, masyarakat, individu yang menjadi penganutnya. Bahwa pada gilirannya sistim nilai yang dimamahkannya produk penyajian agama akan mampu memotivasi penganutnya untuk berjuang secara lebih dahsyat, ulet sabar, serta memiliki kontinuitas dan optimisme.