Home » » PENGANTAR ILMU MUSHTHALAHUL HADITS

PENGANTAR ILMU MUSHTHALAHUL HADITS




I. Definisi Ilmu Mushtalah
عِلْمُ بِقَوَاعِدِ وَقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السنَدِ وَالمَتْن مِنْ حَيْثُ القَبُوْلُ أَوْ الرد

Adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang dengannya diketahui keadaan sanad dan matan dari segi penerimaan dan penolakannya.

Sanad : silsilah (rantai) rijal (perawi-perawi) yang bersambung sampai ke matan.

Matan : perkataan yang datang setelah akhir sanad.

II. Urgensi Ilmu Musthalah

Sangat banyak manfaat ilmu ini yang terpenting diantaranya adalah :
1. Membedakan antara hadits shohih dan dhoif.

Pada abad pertama setelah wafatnya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, sanad yang beredar adalah sanad yang shohih, sahabat meriwayatkan langsung dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan sahabat semuanya adil dan terpercaya. Namun setelah wafatnya Utsman bin Affan radhiyallohu anhu mulailah nampak bid’ah dan golongan sesat, serta mereka menambah, mengurangi dan memalsukan hadits nabi untuk memperkuat bid’ah mereka. Sebagaimana perkataan Muhammaf bin Sirrin : “Mereka (para sahabat) dulunya tidak pernah menanyakan tentang sanad, sampai terjadinya fitnah.

Maka ilmu ini dibuat untuk membedakan yang shohih dan yang dho’if.

2. Ilmu ini termasuk kunci untuk masuk dalam ilmu-ilmu syar’i yang lalu, seperti : Aqidah, Tafsir, Fiqh dan lain-lain.

Buku-buku maraji (rujukan) dari ilmu ini diriwayatkan dengan sanad.

3. Terhindar dari berdusta atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wasallam

Karena meriwayatkan/menyebutkan hadits palsu dan lemah, sementara dia mengetahuinya atau tidak hati-hati dan teliti, itu artinya dia telah berdusta atas Rasulullah shallallohu alaihi wasallam.

Imam Muslim meriwayatkan dalam muqoddimah shohihnya, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda : “Siapa yang meriwayatkan hadits sementara ia tahu bahwa (hadits) itu dusta, maka dia termasuk salah seorang dari pendusta.”

Dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda dalam hadits mutawatir : “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.”

4. Dapat membangkitkan rasa tenang dalam hati tentang janji Allah Azza wa Jalla untuk menjaga syari’at ini, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Sesungguhnya Kami yang menurunkan (Al-Qur’an) dan kami pulalah yang menjaganya.” (QS. Al Hijr :9)

III. Sejarah Perkembangan Ilmu Musthalah.

Secara umum kita dapat membagi sejarah perkembangan ilmu musthalah menjadi empat marhalah (tahapan zaman) :

1. Marhalah pertama dimana sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam menghafal hadits-hadits beliau, safar untuk mengumpulkan dan mencocokkannya dan menulisnya pada shohifah (lembaran-lembaran), seperti : Shohifah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin ‘Amr, dan lain-lain.
2. Marhalah penulisan sunnah secara resmi ketika Umar bin Abdul Azis rahimahulloh memerintahkan untuk menyebarkan ilmu dan menulisnya, maka dikumpullah hadits-hadits Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan perkataan sahabat yang mana disela-selanya terdapat faidah-faidah dan isyarat-isyarat yang pada akhirnya Muhadditsin (ahli hadits) menjadikannya sebagai dasar ilmu musthalah, diantaranya Kitab Sunan Abi Daud, Musnad Ahmad, dan lain-lain.
3. Marhalah pemisahan faidah-faidah tersebut yang merupakan dasar ilmu musthalah dari kitab-kitab hadits, maka dikumpulkan ilmu-ilmu yang serupa pada kitab tersendiri, seperti Kitab Al ’Ilal oleh Ali bin Madini, Kitab Marasiil oleh Abu Daud, dan lain-lain.
4. Marhalah penggabungan setelah pemisahan. Ilmu-ilmu yang telah dipisahkan tadi seperti ‘Ilal dan Marasiil dan lain-lain digabung dalam satu kitab sebagai ilmu tersendiri yaitu Ilmu Musthalah Hadits. Maka orang yang pertama melakukan hal itu adalah Abu Muhammad Hasan bin Abdur Rahman Al Romahurmuzi (wafat : 360H) dan menamakan kitabnya Al Muhaddits Al Fashil baina Ar Rowi wal Wa’iy Tapi kitab ini belum sempurna dan belum mencakup semua jenis istilah hadits. Kemudian datang setelahnya Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Hakim (wafat :405 H) dan mengarang kitab : Ma’rifah Ulum Al Hadits di dalamnya beliau menyebutkan 54 jenis istilah hadits dan kitab ini lebih unggul dari kitab yang pertama dari segi pengaturannya, kemudian setelahnya datang Abu Nu’aim Ahmad Al Ashbahani (wafat : 430 H) dan mengarang Mustahkraj atas kitabnya Al Hakim.

Kemudian datang setelahnya Al Muhaddits Abu Bakar Ahmad bin Ali yang terkenal dengan gelar Al Khatib Al Baghdadi (wafat : 463 H) dan mengarang kitab Ushulul Hadits dan diberi nama : Al Kifayah. Berkata Ibnu Nuqthoh : semua muhadditsin (ulama hadits) setelah Al Khatib merujuk pada buku-buku beliau. Kemudian datang setelahnya Al Qhadhi ‘Iyadh (wafat : 544 H) dan mengarang kitab Al Ilmaa’.

Setelah mereka datang Abu Hafs Umar bin Abdul Majid Al Mayanji (wafat : 580 H) dan mengarang kitab “Ma la Yasa’ul Muhaddits Jahluhu”. Setelah itu para ulama hadits terus mengarang kitab-kitab musthalah hadits dan semakin menyempurnakannya sampai datang Abu ‘Amr Ibn Shalah Utsman bin Abdur Rahman Ash Shaharzuri (wafat : 643).

Ketika mengajar di Madrasah Asyrafiyah di Damaskus dan mengarang kitab “Ulumul Hadits” yang kemudian masyhur dengan nama “Muqoddimah Ibnu Shalah”, kitab ini lebih sempurna dari kitab-kitab sebelumnya yang mana mencakup 65 jenis istilah hadits.

Diantara keistimewaan kitab ini, telah disusun dengan teliti dan bab-bab yang teratur serta mentarjih beberapa masalah istilah hadits. Dan orang-orang yang datang setelah beliau menjadikan bukunya sebagai rujukan dalam Ilmu Musthalah Hadits.

Thanks for reading & sharing Sidikalang Sidiangkat

Previous
« Prev Post

1 Comments:

  1. nama: vera wati silaban
    sem Ib.
    pak... ngak muat komennya di hadits mutawatir

    mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”.
    Syarat-Syaratnya :

    Dari definisi di atas jelaslah bahwa hadits mutawatir tidak akan terwujud kecuali dengan empat syarat berikut ini :

    1. Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
    2. Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
    3. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta.
    4. Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu.

    ReplyDelete

Slide Rekomendasi Artike Blogger

Facebook

FOLLOW US @ INSTAGRAM

 Mengenang Pejuang Vetran Sumut Alm Kapten Basir Angkat
Rajbani Fundation. Powered by Blogger.

Tags

Contact Form

Name

Email *

Message *

Followers

About

Valid XHTML 1.0 Transitional

< Text Back Links Exchange
Free Apple TM ani MySpace Cursors at www.totallyfreecursors.com

Recent Posts