Secara etimologis, kata ta’wwul
sama dengan kata ta’wil, berasal dari akar kata bentuk tsulatsiy (ala) yang
berarti raja’a) yakni kembali ke dasar atau kepangkal. Sedangkan “ ta’awwala”
atau “awwala” dalam bentuk mazid berati mengembalikan ke asal atau kesumbernya.
Istilah ta’awwal al qur’an dalam judul
diatas adalah pendasaran atau perujukan suatu amalan kepada alqur’an.
sebagaimana digunakan Aisyah dalam hadis tentang bacaan tasbih dalam ruku dan
sujud Rasulullah setelah turun surah An Nashr. Haditsnya adalah sebagai mana
berikut ini :
“ Kana rasulullahi shallallahu alaih wasallam yuktsiru an yaqula fi
ruku’ihi wa sujudihi, Shubhanaka llahuma rabbanaa wa bi hamdika Allahumag
firlii ya ta’awwalul qur’an”
(Al Bukhari, IV hal 1901)
Ibnu Hajar mengomentari kata
‘taawwul” ini adalah dengan maksud bahwa tasbih dan doa Rasulullah dalam ruku
dn sujud diatas merupakan penjabaran perintah Allah dalam alqur’an yaitu akhir surah An Nashr, yang berbunyai, Fa sabbih
bi hamdi rabbika wa istaghfirhu. (Ibnu
Hajar, II Hal 299)
Dalam pembahasan tentang Hadits
Jami’ sering disinggung tentang contoh ketika rasulullah memerintahkan sahabat
membaca “ Subhana rabbiya al azhim” dasarnya adalah surah al waqiah ayat 98
begitu juga ketika dalam keadaan sujud
rasulullah memerintahkan sahabat membaca “ Subhana rabiya al a’la” dasarnya adalah
Surah Al A’la .
Dengan demikian apa yang telah
dipaparkan dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa apa yang dilakukan atau
diperintahkan Rasulullah berkitan erat
dengan Al Quran. Pemahaman seperti ini sangat perlu, agar dalam upaya memahami
syariat tidak dipandang bahwa AlQur’an saja yang memerlukan kepada penjelasan
hadits, melainkan isi hadits juga sangat perlu diperhatikan keterkaitannya
dengan perintah Alquran.
Pemahaman Al Hadis secara mendalam
pada banyak kasus sangat perlu kepada alquran, dari penjabaran diatas terlihat
bagaimana Rasulullah men tawwulkan Alquran. Akan tetapi perlu di perhatikan
bahwa semua amar alquran pasti sudah pernah dijabarkan oleh Rasulullah, Namun
demikian tidak semua penjabran dimksud ditemukan riwyatnya dalam kitab-kitab hadits
yang sampai ke generasi sekarang. disisi lain, banyak juga penjabaran
Rasulullah dalam bentuk tuntunan yang bersifat jami’ atau kulliy.
Sebagaimana pembahasan hadis
jami’(bentuk mufrad/tunggal dari jawami’)
Ibnu abd al Barr dalam mengomentri hadits tentang ‘marah ‘ hadits
tentang itu merupakan ucapan yang lafalnya sedikit tetapi mencakup makna yang banyak dan faidahnya yang
tinggi barang siapa yang dapat menahan
amarahnya maka ia telah membuat setannya
menjadi hina tak berdaya) dengan demikian selamatlah martabat dan harga diri
dan agamanya.
Tentang istilah jaami’u alkalim,
al Bukhari mengatakan menurutnya adlah
bahwa khusus untuk Muhmmad, Allah memadukan persolan yang banyak, yang
termaktub dalam kitab-kitab sebelumnya, kedalam satu atau dua persoalan saja
atau seumpamanya.
Azzurriy juga menafsirkan mengatakan menggunakan ungkapan singkat
dengan kata sedikit tetapi mengandung makna yang banyak dan luas.
Alquran surah al Hijr yat 98 Allah
memerintahkan supaya manusia bertasbih
dengan memuji Tuhannya dalam sujud. dalam frame ta’awwul alquran, jika seorang bertasbih
dengan dengan menambah lafal “ wa bihamdihi’, hal itu merupakan penjabaran amar
alqur’an pada ayat tersebut.
Dalam perspektif ubudiah ada juga amalan yang tidak ditemukan tuntunan
khusus dari sunnah, namun, amalan tersebut dapat dipandang sebagai penjabaran
perintah Alqu’an. Penjabaran yang paling luas nyaris tak terbatas terlihat pada
ayat-ayat yang berhubungan dengan perintah membaca Alqur’an dn berzikir. Allah
menegaskan bahwa alqur’an merupakan hidayah dan obat /addawa serta penentram
hati yang gundah dan sedih. Orang yang sakit atau mendapat musibah misalnya
sama sekali tidak dilarang dalam agama. malah hal ini perintah alquran sendiri
yang bersifat umum.
Dalam masalah ini juga tidak
relevan kalau orang bertanya tentang adanya tuntutan Rasulullah perihal membaca
alqur’an bagi yang sakit atau dirumah orang yang tertimpa musibah. Sebab bagi orang yang sehat boleh dibaca
dimana saja kapan saja, maka bagi yang sakit atau yang ditimpa musibah jauh
lebih patut dibacakan kalam Allah. bukankah tiada hiburan yang paling indah
bagi orang mukmin dari pada membaca atau mendengar kalam Allah.
Oleh karena itu pemahaman
ta’awwul alqur’an ini tidak dipahami dengan baik dan kita justru cendrerung
mencari tuntunan spesifik dari sunnah Rasulullah lam segala aspek, maka dapat
saja membaca Alqur’an dirumah orang yang ditimpa musibah dipandang tidak
ada tuntunan sunnah atau dalam bahasa
lain dipandang bid’ah.
Kemudian jika perihal membaca
Alquran ini dikembalikan kepada atsar sahabat, membaca alquran bukan saja bagi
orang yang masih hidup, bagi yang telah tiadapun tidak di persoalkan.Abdullah
bin Umar sebelum wafat berwasiat kepada keluarganya supaya membaca bagian awal
dan akhir surat
al baqarah di kuburnya. Hal ini juga dimlkn oelh sejumlah sahabat lainnya.
Berdasarkan atsar ini, ibnu taimiyah sebagai tokoh tajdid, sama dengan
ahmad bin hambal, berpendapat bahw membaca alquran di kuburan selepas jenazah
di kebumikan tidak di larang, Ibnu Taimiyah menegaskan, “ Membaca Alquran
selepas penguburan jenazah, secara umum, terdapat atsar dari sahabat”
demikian hal nya tentang Zikir,
Allah memerinthkannya sepnjang waktu dlam kondisi berdiri, duduk atau berbring
(Ali Imran 191). Perinth Alquran dapat di ta’awwulkan dengan begitu luaas.
Kapan dimana saja orng berzikir merupakan penjabaran tuntunan Allah. Dalm
konteks ini, tidak perlu tuntunan spesifik dari Rasulullah tentang waktu dan
tempat zikir, Rasulullah sendiri, berdasarkan riwayat yang sahih berzikir
sepanjang waktu. zikir sendiri baik secara lisan atu zikir hati. adapun tentang
jumlah dn bentuk zikir tidklah mengikat. Inilah sesungguhnya yang diamalkan
oleh para ahli ibadah atau orang-orang sufi dalam upaya mendekatan diri kepada
Allah. Jadi, kaidah umum dalam hal ini adalah bahwa diamana dan kapan saja serta dalam bentuk apa zikir
yang dilakukan umat islam merupakan penjabaran perintah Al Qur’an. Barang siapa
yang senang berzikir maka tentram lah hatinya (ar Rad 28) dn siapa yang tidk
mau berzikir dengan dlih tidak ada tuntunan spesifik dari Rasulullah, maka
rohaninya akan kering.
Sebagaimana Allah berseru agar kita berzikir yang bersifat umum, artinya seseorang tidak
hanya dapat menyeru nama Allah atau arrahman dalam zikirnya, melainkan dpat
menyeru semu nama-Nya yang baik (asma’ul
husna) . Berdasarkan kaidah Ta’awul al Quran, tidklah salah jika seseorng
mewiridkan asmul husna atau menyeru Allah dalam doanya dengan nama tertentu
dari asmaul husna sesuai dengan substansi permohonannya.
Mana kala seseorang berdo’a memohon ampunan
atas dosa-dosanya, ia menyeru Allah dengan
“ya ghoffar, ketika Ia memohon perlindungan atas kelemahannya ia
menyerunya dengan ya aziz, ketika ia
terhina ia menyeru “ya zal jalli wal ikram”.dan seterusnya.
Dari penjabaran amar al Qur’an
inilah lahir zikir dan do’a dengan beragam redaksi dan isinya. Kesemuanya itu walaupun dari sudut pandang redaksi dan isinya tidak seluruhnya
tidak ditemukan tuntunan spesifik dari rasulullah, dipandng bagian dari
implementasi perintah alqur’an dn sunnah dan sama sekali dikatakan mengada-ada
dalam agama.
Thanks for reading & sharing Sidikalang Sidiangkat
0 Comments:
Post a Comment